KUBIL
Blog Pribadi Fikri Halfia R

ISLAM GEMBAR-GEMBOR, DIAM ATAU KEPALA DINGIN

Label:
Kalau kita membayangkan diri sebagai penonton, sekarang ini kita menyaksikan sebuah pertunjukan yang menarik di lingkungan umat Islam. Ada pelbagai jenis dan ragam Islam yang merebak di mana-mana. Inilah "musim semi" Islam.
Ada suatu jenis Islam yang boleh kita namai Islam gembar-gembor. Kelompok ini biasanya sangat vokal menyuarakan pentingnya penerapan hukum-hukum Islam, dan memandang bahwa teks-teks keagamaan sudah selesai, sehingga tugas utama orang Islam sekedar melaksanakan tanpa adanya ijtihad kontekstual berfikir yang berarti. Islam ini tampaknya memang laris, terutama dalam situasi transisi politik seperti yang terjadi di negara kita.


Di negara-negara muslim yang representatif, Islam jenis ini kadang-kadang sulit muncul kepermukaan, sebab gembar-gembor di situ bisa saja mendadak berubah menjadi gerakan oposisi terhadap pemerintah. Mereka biasanya dibenci dan diberangus oleh rezim-rezim yang otoriter. Ini yang dulu terjadi di Indonesia. Kadang-kadang kelompok ini digunakan oleh pemerintah (otoriter) untuk mengarahkan perhatian masyarakat ke luar dan melupakan kebobrokan dalam negeri.
Kelompok ini kadang-kadang cenderung keras, dan menolak untuk diajak berbicara oleh kelompok-kelompok lain dalam Islam. Mereka suka menghakimi kelompok lain dalam Islam yang telah dianggap sesat. Kebenaran dipandang sebagi hanya berwajah tunggal, tidak bisa beragam. Sikap mereka dalam menafsiri teks-teks agama (baca: al-Qur'an dan al-Hadis) cenderung kepandangan yang hurufiyah (tekstual), artinya berpegang pada huruf semata tanpa menulusuri Asbab an-Nuzul dan Asbab al-Wurud. Mereka suka mengobral retorika anti Barat, yang sekaligus artinya anti Kristen, dan memandang agama-agama lain sebagai agama yang tak bisa lain kecuali salah dan sesat.
Adapun Islam jenis lain yang boleh kita namai dengan Islam diam. Kelompok ini membentuk proporsi terbesar dari keseluruhan umat Islam, tetapi mereka ini berwatak a-politis, dalam pengertian tak begitu peduli dengan ancaman-ancaman yang datang dari kelompok gembar-gembor, asal kehidupan mereka selamat.
Pandangan kelompok ini kadang-kadang tidak tegas, tetapi yang jelas tidak ekstrim. Dalam beberapa atau banyak hal, kelompok ini condong pada konservatisme. Kelompok ini tak menyukai kekerasan, tetapi juga tak begitu militan melawan bentuk-bentuk represi yang datang dari luar.
Sekap mereka terhadap agama cenderung akomodatif, dalam pengertian bisa menerima penyesuaian-penyesuaian dengan kultur lokal. Beberapa diantara mereka malah ada yang menggabungkan Islam dan mistisisme lokal yang sama sekali heterodoks.
Sementara itu ada jenis Islam lain yang ketiga, yang secara serampangan bisa kita sebut dengan Islam kepala dingin. Kelompok ini biasanya terdiri dari kaum terdidik/terpelajar, dan karena itu sangat sedikit jumlahnya. Mereka tidak mempunyai cukup girah dan semangat untuk berkoar, tetapi mencoba memikirkan dalam-dalam pemaknaan kembali Islam dalam konteks yang sudah berubah, (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal, serta al-hukmu yadur ma'a illatih wijudan wa adaman). Karena mereka ini terdiri dari individu-individu yang berpikir bebas, tafsiran-tafsiran yang muncul dari kelompok ini juga sangat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Oleh karena itu agak sedkit susah mendefinisikan isi Islam sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok ini. Teks keagamaan dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai suatu yang bersifat prismatis, artinya dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan dan penafsiran.
Kelompok ini tak mau memandang kebenaran dalam penafsiran teks sebagai sesuatu yang mungkin digagahi satu kelompok, sekaligus menyingkirkan kelompok lain. Islam dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai sesuatu yang belum atau malah tak pernah selesai. Doktrin al yauma akmaltu lakum dinakum (hari ini Aku sempurnakan bagimu agama-Ku) dimaknai oleh mereka bukan sebagai kesempurnaan yang aktual, tetapi kesempurnaan yang potensial. Setiap agama, dalam pandangan kelompok ini, adalah sempurna pada dirinya (self-sufficient), tetapi kesempurnaan di situ selalu bermakna potensial: ada potensi-potensi kesempurnaan di dalamnya yang harus di-aktualkan oleh para pemeluknya sendiri. Barat tidak dipandang sebagai musuh oleh kelompok ini, tetapi adalah teman dialog yang justru akan memperkembangkan Islam itu sendiri.
Wahyu, menurut kelompok ini, dipandang sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, tetapi progresif, bergerak terus. Nabi sebagai pribadi memang telah wafat, tetapi Nabi sebagai fungsi tetap berjalan dan berlaku sepanjang zaman. Setiap muslim adalah Muhammad-Muhammad kecil yang terus-menerus berjuang melawan setiap struktur jahiliyyah dalam pelbagai ragam bentuknya. Setiap muslim adalah Muhammad yang terus ragu dan resah, karena tak ada suatu terminal akhir yang bisa menjamin bahwa suatu tahap tertentu dalam pemahaman Islam, dalam penafsiran teks-teks agama, adalah tahap yang sudah sampai di puncak, dan dengan demikian telah selesai.
Mengenai Islam gembar-gembor, menurut penulis dan hal ini juga seirama dengan pendapat Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam jenis ini tak mempunyai masa depan, kecuali pada masa peralihan seperti sekarang ini. Begitu sistem demokratis dimapankan, kelompok-kelompok semacam ini secara pelan-pelan akan tertampung ke tengah, lalu akan diam dengan sendirinya. Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok ini adalah Islam "sementara" ketika keadaan belum normal.
Adapun Islam diam juga tak bisa lagi dijadikan sandaran di masa depan. Kelemahan pokok Islam model ini adalah wataknya yang a-politis, yaitu sikapnya yang kurang peduli terhadap pelbagai bentuk ancaman yang datang dari Islam gembar-gembor, suatu ancaman yang bisa merusak tata pergaulan multikultural yang sedang dibina oleh pelbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Kelemahan lainnya dalam Islam model ini, adalah bahwa kelompok ini seperti telah puas dengan keadaan Islam yang ada, di mana tradisi dan Islam sudah bisa bersanding dengan tenang tanpa saling ingkar satu terhadap yang lain. Sikap yang menganggap bahwa segalanya normal adalah kecenderungan yang menonjol pada Islam diam ini.
Islam yang mempunyai masa depan adalah Islam jenis ketiga yaitu Islam kepala dingin, yakni Islam yang selalu mencari rumusan-rumusan baru yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang berubah, tanpa terikat ketat dengan teks-teks keagamaan yang sudah lapuk. Islam jenis ini hendak menimba dari segala tradisi lalu menggodoknya menjadi suatu susunan baru yang sesuai dengan kebutuhan.
Di sini saya ingin mengambil sample kota-kota dalam sejarah perkembangan Islam sebagai landmark untuk menandai jenis-jenis Islam yang telah saya sebutkan di atas. Islam gembar-gembor adalah islam periode Makkah. Islam diam adalah Islam periode Madinah. Islam kepala dingin adalah Islam periode Baghdad. Hanya saja mungkin metafora ini kurang tepat. Islam periode Makkah, misalnya, dimaknai secara lain oleh Ustaz Mahmud Muhammad Thaha dari Sudan. Islam periode Madinah juga mendapat pengertian yang khusus di tangan cendekiawan muslim Nurcholis Majid (cak Nur).
Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba memaknai kembali pengertian dari ketiga Islam tersebut. Dalam hal ini penulis senada dengan apa yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam periode Makkah adalah Islam di mana umat Islam merasa diri sebagai minoritas yang dikepung oleh lingkungan yang serba Jahiliyyah di sekitarnya. Karena merasa dikepung oleh pelbagai ancaman dari kanan-kiri, berteriak adalah salah satu cara untuk bertahan diri. Di sinilah bisa dipahami kenapa orang-orang Islam dalam jalur pemahaman ini selalu gemar berteriak keras. Islam periode Madinah adalah Islam yang sudah mengalami pelembagaan dan pemantapan sebagai suatu komunitas beriman.
Islam periode Baghdad menurut penulis, adalah Islam yang paling hidup dan menjanjikan. Islam ini menganggap dirinya tidak sebagai pihak yang senantiasa terkepung oleh musuh, sehingga tak perlu gembar-gembor, tetapi juga tak pernah merasa bahwa segalanya oke-oke saja, sehingga kegiatan pembacaan ulang (reinterpretasi) atas Islam tak diperlukan lagi. Islam Baghdad-lah yang patut dihidupkan sekarang ini.
Inilah Islam yang secara historis benar-benar pernah mengalami salah satu kondisi kemodernan, yang penting pada saat sekarang ini: yaitu kondisi multikulturalisme. Kota Baghdad adalah kota multikultural yang boleh jadi serupa dengan Manhattan sekarang ini.
Islam periode Baghdad jarang durujuk oleh pemikir muslim modern. Islam Makkah dan Madinah adalah model-model yang acap kali dijadikan contoh yang hendak diteladani. Alasannya sederhana: Islam pada periode Baghdad bukanlah Islam yang asli, Islam periode itu adalah Islam yang telah dicampuri oleh unsur-unsur dari luar Islam sendiri. Sedangkan Islam pada periode Madinah, sebaliknya, adalah Islam yang "murni" dan pristin.
Pertanyaan kita, tentu, manakah yang "murni" dalam Islam itu. Masing-masing kelompok dalam Islam menciptakan bayangan tentang yang "murni" menurut kepentingan-kepentingannya sendiri. Yang dibutuhkan orang Islam sekarang adalah suatu preseden historis yang betul-betul pernah ada, di mana Islam menjadi suatu "fakta sejarah" yang berhasil sebagai agama yang mengembangkan suatu kehidupan yang multikultural, bukan kehidupan yang mencurigai orang lain, atau peradaban lain. Islam periode Baghdad adalah teladan yang hidup dan pernah terjadi.
0 komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Followers