Pendahuluan
Semua orang tahu Indonesia telah merdeka 61 tahun yang lalu. Namun bukan berarti kita mendapatkan ketenangan setelah penjajah pergi, Negeri yang pernah dijuluki zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi dapat makmur. Tapi kini tengah terpuruk di segala persoalan. Di bidang ekonomi, Indonesia kembali menjadi kelompok Negara miskin dengan GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah Negara miskin di Afrika.
Padahal, alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah, potensi kekayaan laut yang luar biasa. Belum lagi mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan. Tapi sampai saat ini masih banyak masyarakat yang kelaparan di sebabkan susah mendapat penghasilan, namun harga-harga sangat tinggi dan perekonomian amat krisis.
Semenjak krisis, sudah 5 presiden berganti-ganti memimpin Indonesia, tapi tetap saja krisis tidak kunjung berakhir. Jelas bahwa krisis ini ditimbulkan bukan hanya karena tatanan ekonominya yang kapitalistik, tapi juga ditimbulkan karena pemerintahan yang tidak bersih dan tidak baik. Namun idaman dari masyarakat pastilah menginginkan adanya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good govemment), agar tidak terjadinya adanya Korupsi atau Penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di Negara yang masyarakatnya menghormati hokum. Pemerintahan yang seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik (good govemance). Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih (clean govemment) dengan aparatur birokrasinya yang terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan clean government, pemerintah harus memiliki moral dan proaktif mewujudkan partisipasi serta check and balances. Tidak mungkin mengharapkan pemerintahan sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip clean government dalam ketiadaan partisipasi.1
Namun bisakah pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan yang bersih dan baik dan tindakan apa saja yang dilakukan sampai saat ini? Makalah ini, mencoba menjelasakan dan memotret kondisi kejahatan yang di lakukan oleh seseorang dari kelas ekonomi yang tinggi, yang berkaitan dengan aktivitas pekerjaannya (White Collar Crime), Khusunya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memancing diskusi yang lebih interns, guna mencari solusi total atas kebangkrutan birokrasi yang sedemikian parah saat ini.
Landasan Teori
Presiden Nigeria Shehu Shagari di Tahun 1982 menyatakan “Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apapun juga adalah soal kemerosotan akhlak di negeri kami. Ada masalah suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu”.2
Presiden Meksiko Jose Lopez Portillo, diakhir masa jabatannya. “ Rakyat Meksiko secara tidak halal telah mengeruk lebih banyak uang keluar dari meksiko selama dua tahun terakhir ini daripada yang pernah dijarah kaum imperialis selama seluruh sejarah negeri kita”.3
Dari perkataan diatas dapat disampaikan bahwa ada suatu kekhawatiran yang besar dari setiap pemimpin di negaranya. Begitu pula di Indonesia, yang sebenarnya bukan saja terjadi pada tiga-empat dekade terkahir. Di era pemerintahan Soekarno, misalnya, Bung Hatta sudah mulai berteriak bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Malah, pada sekitar tahun 1950, pemerintah sudah membentuk tim khusus untuk menangani masalah korupsi. Pada era Soekarno itulah kita kenal bahwa salah satu departemen yang kotor, justu Departemen Agama dengan skandal kain kafan. Saat itu, kain untuk membungkus kain mayat (kain kaci), masih harus diimpor. Peran departemen ini sangat dominant urusan tersebut.4
Pengertian
Sebelum kita membahas lebih lanjut kepada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, ada baiknya kita mengetahui definisi dari korupsi. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah :
*
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
*
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.5
Dari pengertian di atas nampaklah jelas bahwa korupsi akan menyebabkan pelayanan yang jelek, sehinggga menimbulkan high cost economy disemua lini kehidupan. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah dianggap musuh bersama oleh dunia internasional. Para pelaku korupsi dapat kita samakan seperti tikus, tak ada kata kenyang bagi para koruptor. Mencuri harta negara bagi mereka adalah hal yang biasa. Takkan pernah berhenti hingga tiada lagi barang yang bisa dikorupsi. Membiarkan manusia seperti ini sama saja dengan membiarkan negara ambruk perlahan kerena kehabisan pangan.
Jika korupsi bisa membuat negara ambruk, sudah jelas lah bahwa korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan kalayak banyak. Jika ini terjadi di Negara Islam yang menggunakan hukum pidana islam, maka para koruptor (orang yang melakukan tindakan korupsi) akan mendapatkan hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki, serta pengasingan. Hal ini karena termasuk pada hukuman jarimah perampokan, Yang berdasarkan kepada QS. Al-Maidah ayat 33.6 Namun di Negara kita (Indonesia) para pelaku hanya mendapat Hukuman Penjara, Denda, dan Uang Pengganti. Hukuman ini tidak sepadan dengan kesalahannya atau bisa kita katakan termasuk kedalam Teori Retributif Tidak Murni.7
Sistim hukum yang kita pakai bukan saja tidak bisa menjalankan fungsi guna mencegah terjadinya korupsi, namun juga tidak mampu menjadi pembuat jera bagi penjahat berdasi ( White Collar Crime ) yang dihukuminya. Apakah di karenakan korupsi merupakan budaya? Bagi mereka yang berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah budaya, adalah menerima korupsi sebagai sebuah keharusan. Maka jangan disalahkan jika harga BBM yang terus menerus naik, bukan saja disebabkan oleh harga minyak di pasaran dunia, tapi juga disebabkan oleh tidak efisiennya kerja Pertamina. Tidak hanya itu, bahkan mulai dari pembuatan KTP, tender proyek-proyek BUMN, penjualan asset Negara oleh BPPN, penggerogotan dan Bulog, bahkan sampai tukang parkir dan penjualan tiket kereta api-pun sudah terbiasa melakukan tindak korupsi.
Tingkatan Korupsi
Korupsi yang demikian subur ini, dari mulai tingkat atas kepada tingkat bawah dapat kita ambil suatu tingkatan korupsi :
*
Korupsi Rendah (petty corruption)
adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau politisi yang pada dasarnya adalah sebagai individu yang baik dan jujur. Tetapi kenyataannya tergantung pada sogokan dari public atau masyarakat yang relative kecil besarannya, dan uang tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhannya.
*
Korupsi Tinggi (grand corruption)
adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi atau politisi yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai suatau proyek atau kontrak umum yang besar. Praktek korupsi ini dapat menghancurkan Negara.
*
Korupsi Episodik (episodic corruption)
adalah perbuatan pegawai negeri yang melakukan pelanggaran disiplin, tetapi perbuatan tersebut termasuk kategori korupsi karena ada unsur kerugian terhadap publik.
*
Korupsi Sistematik (systematic corruption)
adalah praktek korupsi yang telah masuk menjadi system penyelenggaraan Negara atau system kehidupan bermasyarakat. Korupsi jenis ini bisa berimbas kepada pergeseran nilai dalam suatu system, dan tingkat pusat sampai tingkat daerah.8
Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat tindak pidana korupsi (Tipikor) yang tinggi. Pada tahun 1998, siaran pers Tranparansi Internasional, sebuah organisasi anti korupsi internasional yang bermarkas di Berlin, melaporkan, Indonesia merupakan negara korup keenam terbesar di dunia setelah lima negara gurem, yakni; Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria. Tiga tahun kemudian, 2001, Transparasi Internasional telah memasaukan Indonesia sebagai bangsa yang terkorup keempat dimuka bumi. Dan, ditahun 2002, hasil survey Political an Economi Risk Consultancy (Perc) yang bermarkas di Hongkong, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia, dikuntit India dan Vietnam.9
Sebuah identifikasi diatas ini, yang membuat bangsa kita tidak lagi punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu. Meski sudah ada perangkat hukum (UU Tipikor) dan perangkat penegak hukum (jaksa/hakim) dengan segala wewenangnya, sejak 1971 tipikor bukannya menyusut justru kian meluas. Sehingga UU tentang Pemberantasan Tipikor bnayak dirubah dari UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang setiap tahunya pasti ada kekurangannya.
Kelemahan dan Kekurangan UU TIPIKOR
*
UU No. 03 Tahun 1971 ( Tanggal 29 Maret 1971)
1.
Kurang Lengkap
1.
Tidak adanya ancaman pidana minimum ( Ps. 28, 29, 30, 31 )
2.
Tidak adanya ancaman pidana denda minimum ( Ps. 28 )
3.
Tidak adanya ancaman pidanan tambahan/pengganti ( Ps. 34c )
Sementara dalam UU No. 31 tahun 1999 itu :
1.
Ada ancaman pidana minimum ( Ps. 2(1), 3, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12 )
2.
Ada ancaman pidana denda minimum ( Ps. 2(1), 3, 5, 7, 8, 10, 11, 12 )
3.
Ada pidana tambahan, yaitu dengan adanya sanksi ( Ps 18(3) )
2.
Kurang Berat Ancaman Pidananya
1.
Ancaman pidana maksimal dikatakan seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun ( Ps 28, 29, 30, 31, 32 )
2.
Ancaman pidana denda maksimal itu hanya Rp 30 juta ( Ps. 28 )
Sementara dalam UU No. 31 tahun 1999 itu :
1.
Ancaman pidana maksimal dihukum dengan hukuman mati ( Ps. Ps 2(2) )
2.
Ancaman pidana denda maksimal dengan denda Rp 1 milyar ( Ps.2(1) )
3.
Tidak Ada Pembuktian Terbalik
Dalam UU No. 3 tahun 1971 itu tidak disebutkan mengenai tentang pembuktian terbalik, namun dalam UU No. 31 Tahun 1999 ini, mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37).
*
UU No. 31 Tahun 1999 (Tanggal 16 Agustus 1999)
Di samping mengandung banyak kelebihan, ternyata dalam undang-undang No.31 Tahun 1999 terdapat pula kekurangan-kekurangan dimana pembuat undang-undang tidak melengkapi aturan peralihan. Hal ini berbeda pada waktu UU No. 3 Tahun 1971 menggantikan UU No. 24 Prp. Tahun 1960, Pembuat Undang-undang mencantumkan Pasal 36 (UU No. 3 Tahun 1971) sebagai Aturan Peralihan yang berbunyi sebagai berikut :
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU. Ini berlaku, tetapi diperiksa
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU. Ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili setelah UU ini berlaku, maka diberlakukan UU yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.
Peranan Aturan Peralihan ini adalah mengatur keadaan yang terjadi, namun belum dituntaskan penanganannya hingga lahirnya UU baru. Tidak dilengkapinya UU. No.31 Tahun 1999 dengan Aturan Peralihan, terkesan telah terjadi kekosongan hukum sehingga tidak mustahil menimbulkan suatu pertanyaan dasar hukum yang akan bisa dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus perbuatan korupsi dalam era UU 3 tahun 1971, namun penanganannya pada era UU No. 31 Tahun 1999.
Sedangkan dalam Pasal 44 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan :
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru yaitu UU No 31/1999 hal-hal tersebut telah dirumuskan kembali sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan pasal 16, selain itu dalam pasal 2 dan pasal 3 dicantumkan kata "dapat" sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan bukan dengan timbulnya akibat kerugian negara atau perekonomian negara.
Di samping itu pasal 4 UU No 31/1999 menghapuskan keraguan selama ini dan ketidakpastian hukum serta kontroversi yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang selama ini menjadi alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi, dalam pasal ini ditegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, ketentuan ini sungguh-sungguh akan menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi di masa depan.
1 Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, (Indonesia: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002), hlm. 245
2 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm 24
3 Ibid
4 Hamid Awaludin, Korupsi Semakin Ganas, (Kompas, 16/08/2001)
5 (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)
6 Baca Bahan Kuliah Penologi, Gatot Sugiharto, (Yogyakarta : UAD, 2006), Hlm 21
7 Ibid, Hlm 5 - 6
8 Anonim, Redaksi Anti Korupsi, (Yogyakarta: Govermance Reform In Indonesia , 04/05/2004), Hlm 20
9 Teten Masduki, Korupsi dan Reformasi “Good Governance”, (Kompas: 15/04/2002)
Posting Komentar