PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang berasaskan pancasila atau disebut Negara Hukum Pancasila, salah satu cirri pokok dalam Negara Hukum Pancasila di Indonesia ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion (kebebasan beragama). Tetapi kebebasan beragama di Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi Indonesia.
Sehubungan dengan uraian di atas, patutlah kita ketahui bahwa Negara kita Negara hukum. Sebagaimana konsep Stahl tentang Negara hukum ditandai oleh empat unsur, yang salah satunya ialah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM)1.
Tapi amat disayangkan ketika kita melihat di masyarakat dewasa ini, masih banyak aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang dalam pelaksanaanya tidak selaras dengan hak-hak asasi manusia antara seorang anak dan orang dewasa atau diskriminasi kaum wanita oleh kaum pria. Hal ini kita bisa melihat pada semakin meningkatnya kasus perdagangan anak dan perempuan (Trafficking).
Dalam makalah ini, kelompok ini mencoba menelaah tentang permaslahan Trafficking di tinjauan atas obyek studi kriminologi yang mencangkup tiga hal yaitu : Penjahat, Kejahatan dan reaksi masyarakat terhadap keduanya. Dengan adanya kritikan dari penulis, sehingga nantinya adanya pemahaman terhadap apa yang telah diatur dan belum diatur oleh peundang-undangan.
PEMBAHASAN
1.
Kemunculan Kejahatan Trafficking
Perdagangan anak dan perempuan (Trafficking) merupakan konsep yang baru dikenal oleh masyarakat walaupun konsep ini sudah ada sekitar berabad-abad yang lalu di jaman para nabi sebelum Islam datang, dengan sebutan perbudakan dan pengucilan terhadap kaum wanita2. Mungkin pada masa dahulu paradigma seperti ini merupakan hal yang wajar, dimana disebut zaman kebodohan (jahiliyah) dan mereka tidak memikirkan kehidupan bermasyarakat, yang jelas yang ada dalam pikirannya hanya perang keputusan hanya berada ditangan raja.
Namun jika kita kaitkan dengan masa dahulu, disini sekarang bisa juga kita sebut sebagai perbudakan moderen yang menjadikan kehidupan manusia sebagai komoditi perdagangan: penempatan nilai moneter pada kehidupan seorang wanita, pria, atau anak-anak. Banyak kasus-kasus yang terjadi saat saat ini, yang kita temukan dalam media-media di beberapa Negara, diantaranya :3
*
Di Negara Kongo dengan nama Natalia dan berusia 14 tahun, melahirkan seorang anak dan ia tidak tahu ayah dari anak tersebut dikarenakan sering diperkosa oleh para prajurit. Natalia harus kabur dari kelompok tersebut, Namun merasa takut tidak mempunyai makanan untuk bayinya, sampai-sampai menjual anaknya
*
Deng, usia 20 asalnya Thailand ini diberitahu bahwa ia bisa mendapatkan uang banyak sebagai seorang pekerja seks di Australia. Namun, begitu sampai dinegara tersebut para pelaku Perdagangan Manusia yang mengambil paspornya dan menguncinya dalam sebuah rumah. Ia diberikan sedikit makanan dan harus melunasi hutang lebih dari $30,000 dengan melayani 900 pria bahkan saat ia sakit.
*
Di Amerika, eurasiam dan Timur Tengah ketika peperangan juga memanfaatkan anak-anak dengan penculikan, ancaman, sogokan, dan janji-janji palsu mengenai kompensasi. Menjadikan sebagai prajurit, puluhan dari ribuan anak-anak di bawah usia 18 tahun telah dikenakan wajib militer untuk konflik bersenjata, mengabdi pada pasukan pemerintah, wajib militer bersenjata, dan kelompok pemberontak.
*
Bahkan kasus di Negara kita sendiri itu sangat mengenaskan, seseorang yang bernama Tina dengan usia belasan tahun. Dimana pergi dari desanya yang terpencil ke kota untuk mengikuti pelatihan pembantu rumah tangga di sebuah pusat TKI. Sesudah empat bulan mengikuti pelatihan, akhirnya ia dikirim ke Malaysia dengan catatan dikontrak selama dua tahun dan ditahan gajinya untuk melunasi hutang selama ia mengikuti pelatihan. Tina dipaksa untuk bekerja hingga 15 jam sehari, tidur di lantai, dan diperlakukan dengan kejam secara fisik.
Dari kasus ini bisa di lihat besarnya masalah yang sedemikian luas, bahkan nyaris tidak terukur, baik dari sisi para korban maupun dari sisi para penjahat. Ada beberapa hal yang bisa kita kemukakan penyebab munculnya kejahatan ini yang rata-rata mereka terjepit oleh keadaan biologis instintif yaitu naluri makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan hidup dan nafsu birahinya.
Dalam hal memenuhi naluri makan dan minum kadangkala Orangtua ketika terjepit kebutuhan ekonomi meminjam uang dengan bunga sangat tinggi. Ketika utang jatuh tempo tidak dapat mengembalikan, maka anak dijadikan pembayaran. Atau anak dipandang sebagai aset yang mendatangkan keuntungan besar, apalagi anak perempuan harganya sangat tinggi. Karena pandangan para paedofil yang menyukai melakukan hubungan seks dengan anak-anak.khususnya, percaya bahwa berhubungan seks dengan anak-anak dapat sebagai obat kuat, obat awet muda, mendatangkan hoki tertentu dan dipandang masih bersih dari penyakit kelamin.
Namun tidak hanya itu, ada pula pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya dan terjerumus ke dalam sindikat perdagangan perempuan karena dipaksa pacarnya. Atau adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustrasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orangtua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Maka dari itu anak merasa tidak kerasan di rumah sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung yang pada gilirannya dapat mengantarkannya masuk dalam sindikat perdagangan.4
2.
Kronologi Di Masyarakat Dan Pemerintahan
Ribuan anak dan perempuan diperdagangkan dan dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau bekerja hanya mendapatkan rasa sakit, baik secara fisik mauapun rohani. Hal-hal semacam inilah yang nantinya manusia dicap sebagai Homo Homini Lupus (manusia merupakan srigala bagi manusia lain)5, tapi justru nantinya menjadikan manusia lebih rendah kemulyaannya dari binatang.
Manusia itu memang lebih mulya di banding binatang, tapi kenapa justru binatang yang hanya mempunyai naluri memiliki naluri keturunan saja, amampu menjaga dan melindungi keturunannya agar bisa bisa menjamin adanya kelanjutan jenisnya. Tapi kenapa manusia yang mampu mengembangkan dan menggerakkan kehidupan naluri naluri-naluri itu, malah rela menelantarkan anaknya sendiri.
Kemajuan pada masa modern ini, nampak gagal menaklukan hati manusia sebagaimana M. Natsir dalam "THE NEW MORALITY" (Moral Baru) menerangkan hal ini sebagai berikut : "Rupanya penambahan pengertian tentang keadaan dan perundang-undangan alam, kepandaian teknologi yang sudah memuncak itu saja, ternyata tidaklah membawa kepada manusia itu bahagia. Yang dibawakannya dan diberikanyalah kemajuan yang pincang, yang terpesona dan dapat mempesonakan orang banyak, akan tetapi suatu kemajuan yang lambat laun ternyata palsu, tidak mampu memberikan kebahagiaan yang seimbang, lahir dan batin.6
Perdagangan anak dan perempuan ini merupakan tindak pidana serius dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kondisi cenderung semakin meningkat jumlahnya, baik yang ada di Indonesia atau pun yang dijual ke luar negeri. Di beberapa Negara istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia para pelakunya diberi sebutan wanita tunasusila (WTS). Ini artinya bahwa para permpuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang memperkerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian.
Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya siperempuan yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdagangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya didalam satu Negara tetapi beberapa Negara.
Namun, apabila hanya organisasi dan individu yang mencoba untuk menyelamatkan para korban terkadang harus memilih membeli kebebasan mereka. Dengan membayar tebusan hasil segera diperoleh. Seorang korban dibebaskan dari ikatan perbudakan. Namun, implikasi praktek ini menjadi semakin rumit.
Jika para korban dibebaskan dari sebuah rumah pelacuran oleh suatu organisasi atau individu, pelaku perdagangan, dengan menggunakan pendapatan hasil penjualan, dapat menemukan korban-korban baru untuk memberikan pelayanan yang sama. Sulit untuk menetapkan apakah terjadi pengurangan jumlah korban atau tidak. Dalam banyak peristiwa, perbudakan dapat terus berlanjut tanpa hukuman apapun kepada para pelaku perdagangan atau pelaku eksploitasi.
Cara yang efektif untuk mendapatkan kebebasan korban adalah melalui penerapan hukum: menuntut pertanggung jawaban para pelaku perdagangan dan pelaku eksploitasi yang memperjualbelikan korban dengan menggunakan sistem peradilan pidana. Melalui penggerebekan yang menyelamatkan para korban tanpa kompensasi biaya, dan menahan mereka yang melakukan perbudakan, alat-alat peradilan mencabut harga yang tinggi dari para pelaku perdagangan kejam ini.
Beberapa langkah kemudian diambil oleh Pemerintah kita, diantaranya yang saat ini tengah gencar dilakukan adalah melakukan kerjasama lintas sektor dengan LSM-LSM yang peduli terhadap masalah tersebut. Selain itu beberapa kemajuan ‘legal’ pun telah terlihat, seperti yang terakhir ini adalah disahkannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur dengan jelas tentang hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi dan perdagangan, serta sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap hak tersebut. Rencana Strategis Nasional pun telah disusun dengan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai focal point-nya.
Bila dilihat secara aturan legal, terdapat banyak ‘jaminan’ perlindungan bagi anak dari perdagangan. Selain dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain yang mengatur tentang trafficking atau perdagangan anak (dan perempuan), dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU Hukum Pidana. Tetapi sekali lagi, terutama menyangkut instrumen nasional, persoalannya adalah seputar substansi, interpretasi, dan implementasi.7 Ditambah, hambatan yang dihadapi dalam menangani trafficking bukan hanya budaya hukum kita yang sangat tidak mendukung, tetapi juga sistem sosial dan sistem kultur kita yang masih sangat diskriminatif terhadap anak (dan perempuan).8
Adopsi merupakan salah satu alternatif perlindungan bagi anak. Menyangkut adopsi terhadap anak korban perdagangan dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme pengangkatan anak dan pengasuhan anak yang selama ini berlaku, karena prinsip dasar dari perlindungan anak adalah non-diskriminasi.
Untuk membuktikan ini, aparat penegak hukum harus bias mengungkap adanya orang, kelompok, atau institusi tertentu yang mengorganisir kegiaan semacam ini, demi keuntungan ekonominya sendiri. Dari segi ini, para perempuan pekerja seks yang biasanya dianggap paling bersalah sesungguhnya adalah korban. Dari segi ini organisasi perburuhan international (ILO) telah menciptakan kerangka kerja yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan social sebagai dasar perdamaian international, dengan menjamin hak-hak dasar setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mengenai perdagangan perempuan kerangka kerja ILO ini berdasarkan pada satu asumsi bahwa perdagangan perempuan adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dimana perempuan atau anak perempuan dipaksa untuk bekerja dalam kegiatan seks yang melanggar harkat dan martabatnya sebagai manusia, melanggar moral dan kultur umat manusia (Pasal 29 konvensi ILO).9
3.
Penutup
Trafficking ini bisa kita artikan kurang lebih sebagai “segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi, baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan orang dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau pelibatan hutang, untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapat bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas dimana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang itu pertama kali terjadi".
Kedudukan anak dalam perundang-undanagan yang berlaku di Negara kita mendapat perhatian dengan adanya pembahasan khusus dalam hal pemeliharaannya. Dan hak anak tersebut merupakan kewajiban orang tua, selaku orang yang harus menanggung atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan anak. Serta membahas akibat apa yang ditanggung orang tua yang tidak mampu melaksanakannya. Berakibat pula dalam masalah untuk kebutuhan hidup anak atau orang tua.
Bagi penulis makalah ini masih kurang sempurna, masih banyak kekurangan, untuk itu dibutuhkan saran dan kritik yang membangun demi kemajuan pengetahuan keilmuan kita bersama. Dengan begitu pengetahuan tersebut dapat dipahami secara komperhensif.
DAFTAR BACAAN
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).
Harian kompas Suyanto, Bekerjanya sindikat perdagangan anak perempuan.
Gatot Sugiharto, Bahan Kuliah Kriminologi,(UAD: Fakultas Hukum, 2006).
Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Semarang, PT Alma'arif, 1971).
Irma S. S, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Semarang, Bumi Aksara, 1990).
Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2003)
www.usembassyjakarta.org, Pusat Informasi Kedutaan Amerika.
www.google.co.id, Kejahatan perdagangan anak dan perempuan
Posting Komentar