MANUSIA LAHIR MEMBAWA FITRAH
11.50
Di antara sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan di alam jagat raya ini adalah manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang paling baik (penciptaannya) dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan makhluk lain, di antaranya karena manusia memiliki akal dan fikiran. Akal dan fikiran adalah faktor yang sangat urgen, sehingga manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan bekal akal dan fikiran itulah maka manusia mempunyai tugas yang khusus dalam kehidupan di dunia ini. Manusia hidup di dunia ini mengemban dua amanah sekaligus, yaitu sebagai `abd (hamba yang selalu mengabdi kepada Allah) dan sebagai khalifah (pemelihara alam semesta).
Umat manusia dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, telah dibekali dengan fitrah (kecenderungan untuk menyembah kepada Allah). Fitrah adalah potensi yang dibawa manusia sejak lahir, berupa kecenderungan ke arah positif untuk mengenal hal-hal supra natural (alam ghaib) yang antara lain adalah menyembah Tuhan pencipta alam semesta. Firman Allah QS. al-Rum : 30 : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dalam ayat di atas terkandung makna bahwa eksistensi manusia pada dasarnya tercipta dalam kondisi yang fitrah (suci). Setiap manusia yang terlahir ke dunia ini membawa kefitrian, artinya membawa potensi kepada agama yang lurus yaitu Islam. Fitrah inilah yang akan menyelamatkan manusia, penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun kehidupan setelah mati.
Pada dasarnya fitrah yang ada pada manusia telah ada sebelum manusia terlahir ke dunia ini. Sebelum manusia terlahir ke dunia Allah telah membuat “transaksi fitri” kepada manusia. Manusia, sebelum terlahir ke dunia telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Manusia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagaimana firman-Nya QS. al-A`raf : 172 : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” mereka menjawab : “Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Fitrah positif yang dibawa manusia ini pada dasarnya bisa berubah dengan adanya perubahan waktu dan keadaan. Fitrah yang suci ini bisa berubah antara lain karena pengaruh lingkungan terutama kedua orang tuanya. Kedua orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap tetap ada dan tidaknya fitrah ini. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat Bukhari : “Tiada (seorang anakpun) yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, atau menjadikannya Nasrani atau menjadikannya Majusi (penyembah api).”
Hadis di atas jika dipahami, maka nampak jelas sekali bahwa tugas kedua orang tua adalah mendidik anak-anaknya mengenal Allah SWT sebagai Tuhan mereka yang patut untuk disembah. Sebab setiap anak manusia lahir dengan membawa fitrah, dan orang tuanyalah yang berkewajiban mempertahankan fitrah tersebut. Dengan harapan, jika kelak anak tumbuh dewasa tetap mengenal dan menyembah Allah Tuhan semesta alam.
Dengan fitrah, manusia akan senantiasa menjunjung tinggi hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya di atas hukum yang ada di dunia ini. Dengan fitrah pula, Allah dan Rasul-Nya tetap dijadikan sebagai poros dari segala pengaduan dan penyelesaian masalah-masalah di dunia ini. Pendek kata, fitrah akan membawa manusia pada kehidupan yang benar dan senantiasa selamat, sejahtera di dunia maupun kehidupan setelah mati.
Fitrah (agama yang lurus) yang telah dimiliki seseorang, hendaklah betul-betul dipegang dan dipertahankan hingga akhir hayatnya.Tidak hanya untuk dirinya sendiri, namun fitrah yang memberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Fitrah yang membawa keselamatan diri sendiri adalah fitrah yang berpengaruh pada potensi untuk senantiasa mengenal Tuhan, berbuat baik untuk keselamatan dirinya tanpa mencelakakan orang lain. Sedangkan fitrah yang membawa keselamatan bagi seluruh alam, manakala fitrah tersebut didasarkan pada kemaslahatan bagi seluruh penduduk bumi termasuk binatang dan makhluk yang lain. Sebab fitrah yang benar adalah fitrah yang membawa keselamatan pemiliknya dan membawa kemaslahatan pada sesamanya.
Sedangkan manusia dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai khalifah fi al-Ardh dibekali dengan akal dan fikiran. Akal serta fikiran merupakan dua alat terpenting bagi manusia dalam rangka menunjang tugas pokoknya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan akal serta fikiran, manusia mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, mampu bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan tanpa membuat kerusakan-kerusakan yang menyebabkan merugikan orang lain. Dengan akal dan fikiran, maka manusia menduduki tempat yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia mampu berbuat serta berkarya melebihi makhluk-makhluk yang lain di dunia ini. Dengan berbekal akal serta fikiran memungkinkan untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dengan sempurna.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi berarti berusaha dengan segala kemampuan yang dimilikinya, mengolah segala yang ada di muka bumi berupa ciptaan Tuhan untuk dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ciptaan Tuhan, berupa alam beserta isinya pada dasarnya merupakan pelengkap kebutuhan hidup manusia. Semua itu diciptakan oleh Allah agar manusia memanfaatkannya, sekaligus memeliharanya agar tetap lestari hingga anak keturunan mereka merasakannya. Pemanfaatan sumber daya alam beserta isinya tidak hanya untuk kebutuhan satu generasi saja, namun juga memperhatikan masa depan generasi selanjutnya. Sebab generasi masa depan juga mempunyai hak yang sama dalam menikmati sumber daya alam beserta isinya yang telah diciptakan Tuhan.
Tugas utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, pada dasarnya merupakan tugas seluruh umat manusia untuk menyelamatkan kehidupan dunia ini agar tetap lestari tanpa adanya kerusakan-kerusakan yang dapat merugikan orang lain. Bumi beserta isinya, telah diciptakan oleh Allah sebagai kebutuhan umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya di muka bumi ini tanpa berbuat kerusakan yang bisa menyebabkan kesengsaraan. Sebab manusia hidup di era globalisasi serta zaman yang penuh dengan kemajuan ini, mereka sering melupakan tugas pokoknya sebagai pemakmur dunia tanpa berbuat kerusakan-kerusakan. Era sekarang boleh dikatakan sebagai masa yang sudah mengalami kemajuan-kemajuan baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Kemajuan-kemajuan tersebut jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha normatif untuk menyelamatkan alam ini, maka sangat mungkin umur dunia ini tidak akan lama lagi berakhir.
Memang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia semakin mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak lagi susah-susah mengerjakan beberapa pekerjaan yang berbulan-bulan lamanya dalam mendapatkan segala yang ada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cukup dengan kemajuan teknologi, manusia dapat bertransaksi dengan waktu yang sangat singkat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan tanpa membawa dampak negatif dalam ekosistem kehidupan. Salah satu contoh kemajuan dalam bidang alat perang misalnya, menyebabakan manusia mudah untuk saling membunuh. Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki alat perang yang cukup cangging misalnya, dengan segala dalih dan sesumbarnya seringkali berbuat semena-mena terhadap negara berdaulat lainnya dalam memamerkan kecanggihan alat perang yang mereka miliki. Seperti rencana penyerangan Amerika Serikat ke Iraq akhir-akhir ini, menyebabkan manusia turut berbagi kekhawatiran akan akibat yang ditimbulkan dari peperangan tersebut. Betapa tidak, seandainya peperarangan itu betul-betul terjadi maka berapa ratus atau bahkan ribu manusia yang akan mati. Belum lagi akibat negatif lain yang akan timbul dari peperangan, seperti : kemiskinan, cacat fisik, wabah penyakit dan penderitaan-penderitaan yang lain. Itulah sebagian dari dampak negatif yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi yang disalah gunakan oleh segelintir manusia.
Manusia yang menyalahgunakan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi tersebut, jika dikembalikan pada kefitrian sebagai umat manusia sangatlah bertentangan. Secara fitri manusia cinta kedamaian, kebersamaan dan segala sesuatu yang bersifat kebaikan. Namun jika manusia sudah tidak suka lagi terhadap kemajuan-kemajuan yang membawa kemaslahatan bersama maka manusia tersebut sudah jauh dari kefitriannya sendiri.
Umat manusia dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, telah dibekali dengan fitrah (kecenderungan untuk menyembah kepada Allah). Fitrah adalah potensi yang dibawa manusia sejak lahir, berupa kecenderungan ke arah positif untuk mengenal hal-hal supra natural (alam ghaib) yang antara lain adalah menyembah Tuhan pencipta alam semesta. Firman Allah QS. al-Rum : 30 : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dalam ayat di atas terkandung makna bahwa eksistensi manusia pada dasarnya tercipta dalam kondisi yang fitrah (suci). Setiap manusia yang terlahir ke dunia ini membawa kefitrian, artinya membawa potensi kepada agama yang lurus yaitu Islam. Fitrah inilah yang akan menyelamatkan manusia, penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun kehidupan setelah mati.
Pada dasarnya fitrah yang ada pada manusia telah ada sebelum manusia terlahir ke dunia ini. Sebelum manusia terlahir ke dunia Allah telah membuat “transaksi fitri” kepada manusia. Manusia, sebelum terlahir ke dunia telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Manusia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagaimana firman-Nya QS. al-A`raf : 172 : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” mereka menjawab : “Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Fitrah positif yang dibawa manusia ini pada dasarnya bisa berubah dengan adanya perubahan waktu dan keadaan. Fitrah yang suci ini bisa berubah antara lain karena pengaruh lingkungan terutama kedua orang tuanya. Kedua orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap tetap ada dan tidaknya fitrah ini. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat Bukhari : “Tiada (seorang anakpun) yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, atau menjadikannya Nasrani atau menjadikannya Majusi (penyembah api).”
Hadis di atas jika dipahami, maka nampak jelas sekali bahwa tugas kedua orang tua adalah mendidik anak-anaknya mengenal Allah SWT sebagai Tuhan mereka yang patut untuk disembah. Sebab setiap anak manusia lahir dengan membawa fitrah, dan orang tuanyalah yang berkewajiban mempertahankan fitrah tersebut. Dengan harapan, jika kelak anak tumbuh dewasa tetap mengenal dan menyembah Allah Tuhan semesta alam.
Dengan fitrah, manusia akan senantiasa menjunjung tinggi hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya di atas hukum yang ada di dunia ini. Dengan fitrah pula, Allah dan Rasul-Nya tetap dijadikan sebagai poros dari segala pengaduan dan penyelesaian masalah-masalah di dunia ini. Pendek kata, fitrah akan membawa manusia pada kehidupan yang benar dan senantiasa selamat, sejahtera di dunia maupun kehidupan setelah mati.
Fitrah (agama yang lurus) yang telah dimiliki seseorang, hendaklah betul-betul dipegang dan dipertahankan hingga akhir hayatnya.Tidak hanya untuk dirinya sendiri, namun fitrah yang memberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Fitrah yang membawa keselamatan diri sendiri adalah fitrah yang berpengaruh pada potensi untuk senantiasa mengenal Tuhan, berbuat baik untuk keselamatan dirinya tanpa mencelakakan orang lain. Sedangkan fitrah yang membawa keselamatan bagi seluruh alam, manakala fitrah tersebut didasarkan pada kemaslahatan bagi seluruh penduduk bumi termasuk binatang dan makhluk yang lain. Sebab fitrah yang benar adalah fitrah yang membawa keselamatan pemiliknya dan membawa kemaslahatan pada sesamanya.
Sedangkan manusia dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai khalifah fi al-Ardh dibekali dengan akal dan fikiran. Akal serta fikiran merupakan dua alat terpenting bagi manusia dalam rangka menunjang tugas pokoknya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan akal serta fikiran, manusia mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, mampu bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan tanpa membuat kerusakan-kerusakan yang menyebabkan merugikan orang lain. Dengan akal dan fikiran, maka manusia menduduki tempat yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia mampu berbuat serta berkarya melebihi makhluk-makhluk yang lain di dunia ini. Dengan berbekal akal serta fikiran memungkinkan untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dengan sempurna.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi berarti berusaha dengan segala kemampuan yang dimilikinya, mengolah segala yang ada di muka bumi berupa ciptaan Tuhan untuk dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ciptaan Tuhan, berupa alam beserta isinya pada dasarnya merupakan pelengkap kebutuhan hidup manusia. Semua itu diciptakan oleh Allah agar manusia memanfaatkannya, sekaligus memeliharanya agar tetap lestari hingga anak keturunan mereka merasakannya. Pemanfaatan sumber daya alam beserta isinya tidak hanya untuk kebutuhan satu generasi saja, namun juga memperhatikan masa depan generasi selanjutnya. Sebab generasi masa depan juga mempunyai hak yang sama dalam menikmati sumber daya alam beserta isinya yang telah diciptakan Tuhan.
Tugas utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, pada dasarnya merupakan tugas seluruh umat manusia untuk menyelamatkan kehidupan dunia ini agar tetap lestari tanpa adanya kerusakan-kerusakan yang dapat merugikan orang lain. Bumi beserta isinya, telah diciptakan oleh Allah sebagai kebutuhan umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya di muka bumi ini tanpa berbuat kerusakan yang bisa menyebabkan kesengsaraan. Sebab manusia hidup di era globalisasi serta zaman yang penuh dengan kemajuan ini, mereka sering melupakan tugas pokoknya sebagai pemakmur dunia tanpa berbuat kerusakan-kerusakan. Era sekarang boleh dikatakan sebagai masa yang sudah mengalami kemajuan-kemajuan baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Kemajuan-kemajuan tersebut jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha normatif untuk menyelamatkan alam ini, maka sangat mungkin umur dunia ini tidak akan lama lagi berakhir.
Memang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia semakin mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak lagi susah-susah mengerjakan beberapa pekerjaan yang berbulan-bulan lamanya dalam mendapatkan segala yang ada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cukup dengan kemajuan teknologi, manusia dapat bertransaksi dengan waktu yang sangat singkat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan tanpa membawa dampak negatif dalam ekosistem kehidupan. Salah satu contoh kemajuan dalam bidang alat perang misalnya, menyebabakan manusia mudah untuk saling membunuh. Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki alat perang yang cukup cangging misalnya, dengan segala dalih dan sesumbarnya seringkali berbuat semena-mena terhadap negara berdaulat lainnya dalam memamerkan kecanggihan alat perang yang mereka miliki. Seperti rencana penyerangan Amerika Serikat ke Iraq akhir-akhir ini, menyebabkan manusia turut berbagi kekhawatiran akan akibat yang ditimbulkan dari peperangan tersebut. Betapa tidak, seandainya peperarangan itu betul-betul terjadi maka berapa ratus atau bahkan ribu manusia yang akan mati. Belum lagi akibat negatif lain yang akan timbul dari peperangan, seperti : kemiskinan, cacat fisik, wabah penyakit dan penderitaan-penderitaan yang lain. Itulah sebagian dari dampak negatif yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi yang disalah gunakan oleh segelintir manusia.
Manusia yang menyalahgunakan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi tersebut, jika dikembalikan pada kefitrian sebagai umat manusia sangatlah bertentangan. Secara fitri manusia cinta kedamaian, kebersamaan dan segala sesuatu yang bersifat kebaikan. Namun jika manusia sudah tidak suka lagi terhadap kemajuan-kemajuan yang membawa kemaslahatan bersama maka manusia tersebut sudah jauh dari kefitriannya sendiri.
CINTA DAN KERINDUAN
11.49
DINAMIKA dan gaya hidup masyarakat modern dewasa ini, dengan berbagai kesibukan dan keserakahannya, cenderung lupa kepada Rasul-Nya, membuat situasi carut marut semakin tidak menentu dalam segala sektor kehidupan. Angin buruk, yang berupa kepalsuan dan keserakahan, berembus kencang merobek-robek keteduhan dan ketenangan masyarakat. Wacana perkembangan politik praktis mengenai kekuasaan, seolah-olah kehidupan di dunia hanya untuk memperebutkan kedudukan dalam tatanan birokrasi semata. Mereka lupa, untuk apa mereka diciptakan sehingga cenderung terjebak pada kepentingan sesaat (duniawi) dan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya.
Upaya perbaikan kondisi semacam ini, tentunya, harus tetap dilakukan dengan jalan membangun kesadaran baru, baik secara pribadi, keluarga, golongan, kelompok dan masyarakat bahwa diantara tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini di samping untuk beribadah adalah untuk menjalin persaudaraan, saling mengenal dan membawa kedamaian.
Perlu kita yakini –karena keyakinan melebihi dari ilmu pengetahuan– bahwa kesadaran akan tujuan penciptaan inilah yang harus menyertai manusia selama hidupnya agar tetap menjaga kedamaian, kebersamaan dan saling menghormati. Bukan saja sesama manusia, akan tetapi juga dengan alam dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Q.S. Al-Baqarah (20): 148, yang artinya:
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia meghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat kebaikan). Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu."
Di sini, perlu kita sadari bahwa apa yang dinamakan masyarakat tentu terdiri atas beberapa komunitas yang memiliki orientasi kehidupan yang berbeda. Maka, sangat dibutuhkan kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan berupa keragaman budaya, bahasa, adat istiadat serta aneka ragam kepercayaan. Dengan berprinsip bahwa yang mengetahui hakikat rahasia kemajemukan ini hanyalah Allah SWT.
Dan kita sebagai manusia yang penuh keterbatasan mempunyai tugas menerima, memahami dan menjalankan. Sejarah telah mencatat, fakta berbicara dan realitaspun menjawabnya bahwa, adalah Rasulullah SAW satu-satunya pemimpin yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang sejuk, harmonis, sejahtera, adil, makmur, demokratis dan terbuka.
Bahkan, Rasulullah SAW mampu berdampingan sekaligus bercengkrama dengan orang-orang di luar Islam. Hak-hak mereka tetap ia berikan, mereka tetap dilindungi dan tidak pernah diganggu gugat. Walaupun demikian halnya, ada satu hal yang perlu kita tiru atas sikap keteladanannya, yaitu beliau tidak pernah kendur untuk memperjuangkan terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin.
Prinsip musyawarah dan jiwa demokratis benar-benar di praktekkan oleh Rasulullah SAW dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang sejuk, sejahtera, adil, makmur, demokratis dan terbuka (inklusif). Waktu akan menghadapi perang Uhud, beliau berpendapat, sebaiknya kita kaum muslimin bertahan dalam kota saja. Akan tetapi suara mayoritas –terutama dari kalangan muda yang antusias karena pengalaman menang di perang Badar– menghendaki menyongsong musuh dari Makkah itu di luar kota. Akhirnya, Rasulullah SAW-pun pada akhirnya juga mengikuti pendapat mayoritas.
Seorang wali besar yang bernama Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, dalam karya terbesarnya Ihya' 'Ulumuddin, menegaskan dengan sangat jelas dan gamblang: "Ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunnah dan meniru Rasulullah dalam segala hal yang diperbuatnya". Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-A'raf ayat: 157 menyatakan:
"Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an). Mereka itu orang-orang yang beruntung".
Dari ayat tersebut, dapat diambil beberapa pelajaran dan suri tauladan yang sangat berharga dalam rangka usaha untuk mencari kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan yang semu.
Pertama, Iman dan percaya kepada Rasulullah (alladziina amanu bihi), hal ini merupakan modal dasar untuk mencapai kebahagiaan sekaligus sebagai jalan mengenal Allah SWT. Tidak ada rumus dan jalan seseorang bisa iman kepada Allah manakala tidak menanamkan jiwa iman kepada Rasulullah. Barangsiapa iman kepada Rasul berarti iman kepada Allah, taat Rasul taat Allah, cinta Rasul cinta Allah, khiyanat kepada Rasul berarti khiyanat kepada Allah.
Iman tidak hanya cukup diwujudkan dengan semboyan dan hiasan kata-kata verbal serta retorika dan teoritis semata, tapi memerlukan bukti yang nyata dalam praktik hidup dan kehidupan sehari-hari. Diantara buah iman adalah mengecilkan kadar kerakusan dan mendesak sifat mementingkan diri sendiri.
Kedua, mengagungkan Rasul (wa azzaruuhu). Artinya menjalankan segala perintahnya dan menjahui larangannya, menghidupkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah masyarakat yang dewasa ini mempunyai kecenderungan yang kuat menyimpang dari syari'at Allah yang dibawa olehnya.
Peringatan Maulid Nabi yang akan datang nanti, yang tumbuh dan berkembang di republik ini, dari desa sampai Ibu Kota negara, merupakan salah satu upaya positif agar umat Islam berusaha meneladani sikap mental dan kepribadian Rasulullah SAW dalam praktik hidup dan kehidupan sehari-hari, dengan satu harapan dan tekad: berani mengadakan suatu peringatan maulid, berarti juga dituntut untuk berani mengadakan perubahan ketaraf yang lebih baik, dalam pergaulan sesama manusia berbangsa dan bernegara sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah. Juga sebagai sikap mengagungkan Rasulullah, sekaligus menghidupkan syi'ar Islam di tengah-tengah masyarakat.
Untuk sekedar di ingat, bahwa salah satu tugas Rasul adalah memperbaiki dan meluruskan penyelewengan-penyelewengan manusia agar tetap konsisten pada aqidah yang benar, sehingga dapat mencapai kebahagiaan yang sejati dengan tetap berjalan dan sesuai dengan fitrahnya.
Ketiga, membela Rasul (wa nasharuu). Yang dimaksud membela Rasul di sini adalah membela agama Allah yang dibawah oleh Rasulullah SAW, yaitu Dinul Islam. Kepentingan Islam dan Umat Islam seluruhnya harus kita letakkan di atas segala-galanya bila mengharapkan kebahagiaan sejati. Satu hal yang cukup memprihatinkan hati penulis, akhir-akhir ini banyak orang yang terjebak oleh euforia pada kepentingan sesaat (temporary relief). Akibatnya, terjadilah benturan-benturan sesama umat Islam, tidak saling melengkapi, memberi dan menerima antar sesama umat Islam. Lebih ironis lagi, mereka cenderung saling menjatuhkan sesamanya sehingga persatuan umat Islam semakin menurun, yang menyebabkan wibawa umat Islam di mata dunia internasional kurang diperhitungkan.
Keempat, (wat taba'un nuura lladzii unzila ma'ahuu) mengikuti petunjuk al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, harus benar-benar kita jadikan sebagai pedoman hidup, baik secara individu, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai obat penenang jiwa, penjernih hati, memperkuat rohani, menghantarkan kita dalam usaha untuk menguatkan iman dan Islam dalam rangka membentuk akhlaqul karimah.
Al-Qur'an juga merupakan salah satu bukti kebenaran Rasulullah SAW dan sebagai mukjizat yang tiada tara dan bandingannya sepanjang zaman. Al-Qur'an mempunyai kebenaran mutlak, tidak terikat oleh ruang, gerak dan waktu. Barang siapa yang mengamalkannya pasti akan menjadi manusia yang damai, selamat dan sejahtera. Sebaliknya, barang siapa yang mengkhiyanatinya akan mengalami kesesatan dan penderitaan tiada batas dan tepinya.
Oleh karena itu, apabila keempat modal dasar cinta kepada Rasul ini, dimiliki seseorang, apapun jabatannya, apapun latar belakang pendidikannya, bagaimanapun kondisi sosial-ekonominya, mereka semua itu akan diabadikan oleh Allah SWT menjadi orang yang bahagia dan bisa merasakan manisnya iman. Hal ini seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "ada tiga hal yang barang siapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, yang kedua mencintai seseorang hanya semata-mata karena Allah, dan yang ketiga benci untuk kembali kafir, setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran sebagaimana kebenciannya apabila ia dilemparkan ke dalam api neraka". (HR. Bukhari Muslim, Turmudzi, Nasa'i dan Ibn Majah).
Mencintai Allah dan Rasul di atas segalanya adalah puncak cinta dan kerinduan yang harus benar-benar diusahakan bagi setiap pribadi muslim yang menghendaki kebahagiaan hakiki (bukan kebahagiaan semu) sekaligus keselamatan yang abadi. Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad Ibn Hasin al-Khattabi al-Bakri pernah berkata dalam puisinya:
Karena cinta pahit berubah menjadi manis,
Karena cinta tembaga berubah menjadi emas,
Karena cinta ampas berubah menjadi sari murni,
Karena cinta pedih menjadi obat,
Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan,
Karena cinta raja berubah menjadi hamba.
Oleh karena itu, dalam rangka menyongsong Maulid Nabi Muhammad SAW, mari kita: "bershalawat kepadanya dengan cinta dan kerinduan, dengan harapan semoga bangsa kita Indonesia menjadi curahan Rahmat-Nya diantarkan oleh kebesaran Nabi-Nya.
Upaya perbaikan kondisi semacam ini, tentunya, harus tetap dilakukan dengan jalan membangun kesadaran baru, baik secara pribadi, keluarga, golongan, kelompok dan masyarakat bahwa diantara tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini di samping untuk beribadah adalah untuk menjalin persaudaraan, saling mengenal dan membawa kedamaian.
Perlu kita yakini –karena keyakinan melebihi dari ilmu pengetahuan– bahwa kesadaran akan tujuan penciptaan inilah yang harus menyertai manusia selama hidupnya agar tetap menjaga kedamaian, kebersamaan dan saling menghormati. Bukan saja sesama manusia, akan tetapi juga dengan alam dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Q.S. Al-Baqarah (20): 148, yang artinya:
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia meghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat kebaikan). Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu."
Di sini, perlu kita sadari bahwa apa yang dinamakan masyarakat tentu terdiri atas beberapa komunitas yang memiliki orientasi kehidupan yang berbeda. Maka, sangat dibutuhkan kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan berupa keragaman budaya, bahasa, adat istiadat serta aneka ragam kepercayaan. Dengan berprinsip bahwa yang mengetahui hakikat rahasia kemajemukan ini hanyalah Allah SWT.
Dan kita sebagai manusia yang penuh keterbatasan mempunyai tugas menerima, memahami dan menjalankan. Sejarah telah mencatat, fakta berbicara dan realitaspun menjawabnya bahwa, adalah Rasulullah SAW satu-satunya pemimpin yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang sejuk, harmonis, sejahtera, adil, makmur, demokratis dan terbuka.
Bahkan, Rasulullah SAW mampu berdampingan sekaligus bercengkrama dengan orang-orang di luar Islam. Hak-hak mereka tetap ia berikan, mereka tetap dilindungi dan tidak pernah diganggu gugat. Walaupun demikian halnya, ada satu hal yang perlu kita tiru atas sikap keteladanannya, yaitu beliau tidak pernah kendur untuk memperjuangkan terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin.
Prinsip musyawarah dan jiwa demokratis benar-benar di praktekkan oleh Rasulullah SAW dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang sejuk, sejahtera, adil, makmur, demokratis dan terbuka (inklusif). Waktu akan menghadapi perang Uhud, beliau berpendapat, sebaiknya kita kaum muslimin bertahan dalam kota saja. Akan tetapi suara mayoritas –terutama dari kalangan muda yang antusias karena pengalaman menang di perang Badar– menghendaki menyongsong musuh dari Makkah itu di luar kota. Akhirnya, Rasulullah SAW-pun pada akhirnya juga mengikuti pendapat mayoritas.
Seorang wali besar yang bernama Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, dalam karya terbesarnya Ihya' 'Ulumuddin, menegaskan dengan sangat jelas dan gamblang: "Ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunnah dan meniru Rasulullah dalam segala hal yang diperbuatnya". Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-A'raf ayat: 157 menyatakan:
"Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an). Mereka itu orang-orang yang beruntung".
Dari ayat tersebut, dapat diambil beberapa pelajaran dan suri tauladan yang sangat berharga dalam rangka usaha untuk mencari kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan yang semu.
Pertama, Iman dan percaya kepada Rasulullah (alladziina amanu bihi), hal ini merupakan modal dasar untuk mencapai kebahagiaan sekaligus sebagai jalan mengenal Allah SWT. Tidak ada rumus dan jalan seseorang bisa iman kepada Allah manakala tidak menanamkan jiwa iman kepada Rasulullah. Barangsiapa iman kepada Rasul berarti iman kepada Allah, taat Rasul taat Allah, cinta Rasul cinta Allah, khiyanat kepada Rasul berarti khiyanat kepada Allah.
Iman tidak hanya cukup diwujudkan dengan semboyan dan hiasan kata-kata verbal serta retorika dan teoritis semata, tapi memerlukan bukti yang nyata dalam praktik hidup dan kehidupan sehari-hari. Diantara buah iman adalah mengecilkan kadar kerakusan dan mendesak sifat mementingkan diri sendiri.
Kedua, mengagungkan Rasul (wa azzaruuhu). Artinya menjalankan segala perintahnya dan menjahui larangannya, menghidupkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah masyarakat yang dewasa ini mempunyai kecenderungan yang kuat menyimpang dari syari'at Allah yang dibawa olehnya.
Peringatan Maulid Nabi yang akan datang nanti, yang tumbuh dan berkembang di republik ini, dari desa sampai Ibu Kota negara, merupakan salah satu upaya positif agar umat Islam berusaha meneladani sikap mental dan kepribadian Rasulullah SAW dalam praktik hidup dan kehidupan sehari-hari, dengan satu harapan dan tekad: berani mengadakan suatu peringatan maulid, berarti juga dituntut untuk berani mengadakan perubahan ketaraf yang lebih baik, dalam pergaulan sesama manusia berbangsa dan bernegara sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah. Juga sebagai sikap mengagungkan Rasulullah, sekaligus menghidupkan syi'ar Islam di tengah-tengah masyarakat.
Untuk sekedar di ingat, bahwa salah satu tugas Rasul adalah memperbaiki dan meluruskan penyelewengan-penyelewengan manusia agar tetap konsisten pada aqidah yang benar, sehingga dapat mencapai kebahagiaan yang sejati dengan tetap berjalan dan sesuai dengan fitrahnya.
Ketiga, membela Rasul (wa nasharuu). Yang dimaksud membela Rasul di sini adalah membela agama Allah yang dibawah oleh Rasulullah SAW, yaitu Dinul Islam. Kepentingan Islam dan Umat Islam seluruhnya harus kita letakkan di atas segala-galanya bila mengharapkan kebahagiaan sejati. Satu hal yang cukup memprihatinkan hati penulis, akhir-akhir ini banyak orang yang terjebak oleh euforia pada kepentingan sesaat (temporary relief). Akibatnya, terjadilah benturan-benturan sesama umat Islam, tidak saling melengkapi, memberi dan menerima antar sesama umat Islam. Lebih ironis lagi, mereka cenderung saling menjatuhkan sesamanya sehingga persatuan umat Islam semakin menurun, yang menyebabkan wibawa umat Islam di mata dunia internasional kurang diperhitungkan.
Keempat, (wat taba'un nuura lladzii unzila ma'ahuu) mengikuti petunjuk al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, harus benar-benar kita jadikan sebagai pedoman hidup, baik secara individu, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai obat penenang jiwa, penjernih hati, memperkuat rohani, menghantarkan kita dalam usaha untuk menguatkan iman dan Islam dalam rangka membentuk akhlaqul karimah.
Al-Qur'an juga merupakan salah satu bukti kebenaran Rasulullah SAW dan sebagai mukjizat yang tiada tara dan bandingannya sepanjang zaman. Al-Qur'an mempunyai kebenaran mutlak, tidak terikat oleh ruang, gerak dan waktu. Barang siapa yang mengamalkannya pasti akan menjadi manusia yang damai, selamat dan sejahtera. Sebaliknya, barang siapa yang mengkhiyanatinya akan mengalami kesesatan dan penderitaan tiada batas dan tepinya.
Oleh karena itu, apabila keempat modal dasar cinta kepada Rasul ini, dimiliki seseorang, apapun jabatannya, apapun latar belakang pendidikannya, bagaimanapun kondisi sosial-ekonominya, mereka semua itu akan diabadikan oleh Allah SWT menjadi orang yang bahagia dan bisa merasakan manisnya iman. Hal ini seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "ada tiga hal yang barang siapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, yang kedua mencintai seseorang hanya semata-mata karena Allah, dan yang ketiga benci untuk kembali kafir, setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran sebagaimana kebenciannya apabila ia dilemparkan ke dalam api neraka". (HR. Bukhari Muslim, Turmudzi, Nasa'i dan Ibn Majah).
Mencintai Allah dan Rasul di atas segalanya adalah puncak cinta dan kerinduan yang harus benar-benar diusahakan bagi setiap pribadi muslim yang menghendaki kebahagiaan hakiki (bukan kebahagiaan semu) sekaligus keselamatan yang abadi. Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad Ibn Hasin al-Khattabi al-Bakri pernah berkata dalam puisinya:
Karena cinta pahit berubah menjadi manis,
Karena cinta tembaga berubah menjadi emas,
Karena cinta ampas berubah menjadi sari murni,
Karena cinta pedih menjadi obat,
Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan,
Karena cinta raja berubah menjadi hamba.
Oleh karena itu, dalam rangka menyongsong Maulid Nabi Muhammad SAW, mari kita: "bershalawat kepadanya dengan cinta dan kerinduan, dengan harapan semoga bangsa kita Indonesia menjadi curahan Rahmat-Nya diantarkan oleh kebesaran Nabi-Nya.
KARAKTER ORANG MUKMIN
11.48
Agama Islam adalah agama yang mementingkan keyakinan yang mendalam (pasrah) dalam menerima segala pranata serta aturan yang telah diturunkan oleh sang pencipta. Kepasrahan tersebut merupakan bukti yang harus dimiliki oleh setiap orang yang menerima Islam sebagai agama yang benar. Seorang yang menerima kebenaran Islam tersebut dinamakan orang mukmin. Orang mukmin adalah seseorang yang beriman (pasrah) kepada Allah dan rasul-Nya, baik secara lahir maupun batin. Orang mukmin yang sejati senantiasa menunjukkan identitasnya dalam segala ucapan serta tindakannya baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Setiap orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tentulah memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang harus dimiliki. Dalam hal ini Allah berfirman, QS. Al-Taubah : 71 : “Dan orang-orang yang beriman , laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepda Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana.”
Ayat tersebut di atas adalah salah satu ayat al-Qur`an yang menerangkan sekaligus mengungkap ciri-ciri (karakteristik) orang beriman. Karakteristik orang yang beriman dalam ayat di atas merupakan wujud nyata akan kepasrahan yang mendalam terhadap kebenaran yang ada dalam Islam. Karakteristik orang beriman juga dimaksudkan sebagai pembeda antara orang yang telah pasrah sepenuhnya terhadap kebenaran Islam dengan yang belum menerima kebenaran Islam. Setiap manusia yang mengaku beriman, hendaklah merenungkan ayat di atas sekaligus mengamalkannya. Dari ayat di atas setidaknya ada lima kriteria bagi orang yang beriman, yaitu :
Pertama : Orang yang beriman adalah sebagai penolong bagi yang lainnya. Artinya saling tolong menolong dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah. Kesulitan yang dihadapi orang mukmin lain hendaklah dibantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tolong menolong di antara sesama orang beriman, harus di dasarkan kebenaran dan taqwa. Sebagaimana Firman Allah QS. Al-Maidah : 2 : “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pemusuhan.”Tolong menolong antara sesama orang beriman harus di dasarkan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridha dan karunia Allah. Dengan adanya rasa tolong menolong antara orang yang beriman maka akan mewujudkan suatu kebersamaan dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Sehingga apapun kesulitan yang dihadapi umat, akan terasa mudah untuk diatasi. Kebersamaan akan memunculkan suatu kekuatan yang optimal dalam membangun suatu masyarakat yang agamis serta mengurangi beban terhadap sesama.
Kedua : Orang beriman harus senantiasa mewujudkan amar ma`ruf dan nahi munkar (menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang jahat). Firman Allah QS. Ali Imran : 110 : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu senantiasa menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu selalu beriman kepada Allah.” Amar ma`ruf dan nahi munkar ini harus senantiasa ditegakkan baik secara personal, dalam lingkungan keluarga, dalam lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Amar ma`ruf dan nahi munkar harus ditegakkan dengan cara-cara bertahap dan dengan cara yang bijaksana. Adapun cara (metode) yang digunakan dalam dakwah adalah dengan penuh hikmah (lemah lembut), dengan memberi nasehat yang baik dan dengan diskusi (adu argumen) secara bijaksana. Firman Allah QS. Al-Nahl : 125 : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Perintah amar ma`ruf dan nahi munkar sebenarnya bentuk kekuatan yang efektif dalam rangka memberantas segala kejahatan yang ada di muka bumi ini. Sebab kejahatan seringkali menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta merugikan generasi masa depan. Prinsipnya, kejahatan apapun bentuknya harus sedikit demi sedikit dikurangi, sebab tidak mungkin kejahatan di dunia ini bisa sirna. Kebenaran serta kebaikan harus lebih banyak dilakukan orang, bukan sebaliknya justru kejahatan yang merajalela seperti sekarang ini. Sehingga, setiap orang mukmin ikut bertanggung jawab dalam menegakkan kebenaran serta mencegah terjadinya kejahatan yang semakin mewarnai segala lini kehidupan manusia.
Ketiga : Orang beriman harus senantiasa mendirikan shalat. Shalat adalah tiang agama, amal perbuatan pertama yang akan dihisab di akhirat nanti. Baik buruknya orang beriman dapat diukur dengan kualitas shalatnya. Firman Allah QS. Al-Nisa` : 103 : “…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” Firman Allah QS. Al-Mu`minun : 1-2 “Sungguh-sungguh beruntung orang-orang mukmin yang khusu` dalam shalatnya.”
Ibadah shalat memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan ibadah yang lain, di antaranya sebagaimana Hadis Nabi SAW riwayat Bukhari : “Shalat adalah tiang Agama (Islam), barang siapa yang mendirikan shalat maka telah menegakkan Agama (Islam). Dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka telah merobohkan Agama (Islam).” Sabda Nabi SAW riwayat Thabrani : “Amal perbuatan seorang hamba yang pertama dihisab (dipertanggungjawabkan) di hari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya maka seluruh amal perbuatannya dianggap baik. Dan jika jelek atau rusak shalatnya maka seluruh amal perbuatannya dianggap jelek atau rusak.”
Shalat mempunyai fungsi atau pengaruh dalam hidup dan kehidupan, yang antara lain : shalat dilaksanakan dalam rangka mengingat Allah dan shalat yang dilaksanakan mampu mencegah dari perbuatan keji (jahat) dan munkar (kemungkaran). Firman Allah QS. Thaha : 14 : “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Firman Allah QS. al-Ankabut : 45 : “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).”
Pada dasarnya, shalat yang kita laksanakan setiap hari (lima waktu), semuanya diserahkan kepada Allah. Firman Allah QS. al-An`am : 162-163 : “Katakanlah (Muhammad) : sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Keempat : Orang beriman hendaklah senantiasa menunaikan zakat. Kewajiban menunaikan zakat diperuntukkan bagi orang beriman yang mampu (memiliki harta yang lebih atau nishab). Pada harta orang mukmin yang mampu terdapat hak bagi keluarga dekat yang tidak mampu, fakir miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar, peminta-peminta, orang miskin yang tidak meminta, dan lain-lain. Firman Allah QS. Ma`arij : 24-25 : “Dan orang-orang yang dalam hartanya (orang mampu) tersedia bagian tertentu, bagi orang-orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”
Orang-orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokoknya, pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah bagi yang memerlukannya. Harta yang ada pada orang yang kaya merupakan amanah (titipan) dari Allah yang harus disalurkan kepada orang yang membutuhkannya. Sebab para fakir dan miskin sebenarnya punya hak yang sama dalam menikmati karunia Allah berupa harta kekayaan. Hanya saja mereka tidak diamanati oleh Allah berupa harta yang melimpah sebagaimana orang-orang kaya. Prinsip dalam mengeluarkan zakat dan shadaqah sebenarnya agar supaya harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Kelima : Orang beriman harus senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya. Taat kepada Allah berarti percaya akan kebenaran al-Qur`an dan mau mengamalkannya. Sedangkan taat kepada rasul berarti percaya akan kebenaran berita yang dibawa Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah) dan mau mengamalkannya. Firman Allah QS. al-Nisa` : 59 : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin pemerintahan yang adil) diantara kamu. Kemudian jika kamu sekalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan rasul-Nya (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sedangkan ketaatan kepada Rasul harus dibuktikan dengan membenarkan sekaligus melaksanakan sesuatu (sunnah) yang telah beliau perintahkannya sekaligus meninggalkan sesuatu (sunnah) yang telah beliau larangnya. Sebagaimana firman Allah QS. Al-Hasyr : 7 : “Dan apa-apa yang diberikan kepadamu oleh rasulullah maka terimalah ia, dan apa-apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.”
Ketaatan kepada Rasul SAW juga telah beliau isyaratkan dalam beberapa Haditsnya, yang antara lain, Sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Bukhari : “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan. Ditanyakan (oleh seorang shahabat) : siapa orang yang enggan itu wahai rasulallah ? Beliau menjawab : barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka sungguh ia termasuk orang yang enggan.” Sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Abdul Barr : “Telah ku tinggalkan kepadamu dua perkara, selama kamu berpegang teguh kepada keduanya maka kamu tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, yaitu kitabullah (al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya (al-Hadis).”
Demikianlah, karakteristik orang-orang beriman (mukmin) dapat disimpulkan sebagai berikut : orang mukmin senantiasa saling tolong menolong, senantiasa menjalankan amar ma`ruf nahi munkar, senantiasa mendirikan shalat, senantiasa menunaikan zakat dan senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya. Kelima kelompok orang mukmin itulah yang akan mendapat rahmat Allah, berupa kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat.Wallahu a`lam
Ayat tersebut di atas adalah salah satu ayat al-Qur`an yang menerangkan sekaligus mengungkap ciri-ciri (karakteristik) orang beriman. Karakteristik orang yang beriman dalam ayat di atas merupakan wujud nyata akan kepasrahan yang mendalam terhadap kebenaran yang ada dalam Islam. Karakteristik orang beriman juga dimaksudkan sebagai pembeda antara orang yang telah pasrah sepenuhnya terhadap kebenaran Islam dengan yang belum menerima kebenaran Islam. Setiap manusia yang mengaku beriman, hendaklah merenungkan ayat di atas sekaligus mengamalkannya. Dari ayat di atas setidaknya ada lima kriteria bagi orang yang beriman, yaitu :
Pertama : Orang yang beriman adalah sebagai penolong bagi yang lainnya. Artinya saling tolong menolong dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah. Kesulitan yang dihadapi orang mukmin lain hendaklah dibantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tolong menolong di antara sesama orang beriman, harus di dasarkan kebenaran dan taqwa. Sebagaimana Firman Allah QS. Al-Maidah : 2 : “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pemusuhan.”Tolong menolong antara sesama orang beriman harus di dasarkan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridha dan karunia Allah. Dengan adanya rasa tolong menolong antara orang yang beriman maka akan mewujudkan suatu kebersamaan dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Sehingga apapun kesulitan yang dihadapi umat, akan terasa mudah untuk diatasi. Kebersamaan akan memunculkan suatu kekuatan yang optimal dalam membangun suatu masyarakat yang agamis serta mengurangi beban terhadap sesama.
Kedua : Orang beriman harus senantiasa mewujudkan amar ma`ruf dan nahi munkar (menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang jahat). Firman Allah QS. Ali Imran : 110 : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu senantiasa menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu selalu beriman kepada Allah.” Amar ma`ruf dan nahi munkar ini harus senantiasa ditegakkan baik secara personal, dalam lingkungan keluarga, dalam lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Amar ma`ruf dan nahi munkar harus ditegakkan dengan cara-cara bertahap dan dengan cara yang bijaksana. Adapun cara (metode) yang digunakan dalam dakwah adalah dengan penuh hikmah (lemah lembut), dengan memberi nasehat yang baik dan dengan diskusi (adu argumen) secara bijaksana. Firman Allah QS. Al-Nahl : 125 : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Perintah amar ma`ruf dan nahi munkar sebenarnya bentuk kekuatan yang efektif dalam rangka memberantas segala kejahatan yang ada di muka bumi ini. Sebab kejahatan seringkali menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta merugikan generasi masa depan. Prinsipnya, kejahatan apapun bentuknya harus sedikit demi sedikit dikurangi, sebab tidak mungkin kejahatan di dunia ini bisa sirna. Kebenaran serta kebaikan harus lebih banyak dilakukan orang, bukan sebaliknya justru kejahatan yang merajalela seperti sekarang ini. Sehingga, setiap orang mukmin ikut bertanggung jawab dalam menegakkan kebenaran serta mencegah terjadinya kejahatan yang semakin mewarnai segala lini kehidupan manusia.
Ketiga : Orang beriman harus senantiasa mendirikan shalat. Shalat adalah tiang agama, amal perbuatan pertama yang akan dihisab di akhirat nanti. Baik buruknya orang beriman dapat diukur dengan kualitas shalatnya. Firman Allah QS. Al-Nisa` : 103 : “…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” Firman Allah QS. Al-Mu`minun : 1-2 “Sungguh-sungguh beruntung orang-orang mukmin yang khusu` dalam shalatnya.”
Ibadah shalat memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan ibadah yang lain, di antaranya sebagaimana Hadis Nabi SAW riwayat Bukhari : “Shalat adalah tiang Agama (Islam), barang siapa yang mendirikan shalat maka telah menegakkan Agama (Islam). Dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka telah merobohkan Agama (Islam).” Sabda Nabi SAW riwayat Thabrani : “Amal perbuatan seorang hamba yang pertama dihisab (dipertanggungjawabkan) di hari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya maka seluruh amal perbuatannya dianggap baik. Dan jika jelek atau rusak shalatnya maka seluruh amal perbuatannya dianggap jelek atau rusak.”
Shalat mempunyai fungsi atau pengaruh dalam hidup dan kehidupan, yang antara lain : shalat dilaksanakan dalam rangka mengingat Allah dan shalat yang dilaksanakan mampu mencegah dari perbuatan keji (jahat) dan munkar (kemungkaran). Firman Allah QS. Thaha : 14 : “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Firman Allah QS. al-Ankabut : 45 : “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).”
Pada dasarnya, shalat yang kita laksanakan setiap hari (lima waktu), semuanya diserahkan kepada Allah. Firman Allah QS. al-An`am : 162-163 : “Katakanlah (Muhammad) : sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Keempat : Orang beriman hendaklah senantiasa menunaikan zakat. Kewajiban menunaikan zakat diperuntukkan bagi orang beriman yang mampu (memiliki harta yang lebih atau nishab). Pada harta orang mukmin yang mampu terdapat hak bagi keluarga dekat yang tidak mampu, fakir miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar, peminta-peminta, orang miskin yang tidak meminta, dan lain-lain. Firman Allah QS. Ma`arij : 24-25 : “Dan orang-orang yang dalam hartanya (orang mampu) tersedia bagian tertentu, bagi orang-orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”
Orang-orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokoknya, pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah bagi yang memerlukannya. Harta yang ada pada orang yang kaya merupakan amanah (titipan) dari Allah yang harus disalurkan kepada orang yang membutuhkannya. Sebab para fakir dan miskin sebenarnya punya hak yang sama dalam menikmati karunia Allah berupa harta kekayaan. Hanya saja mereka tidak diamanati oleh Allah berupa harta yang melimpah sebagaimana orang-orang kaya. Prinsip dalam mengeluarkan zakat dan shadaqah sebenarnya agar supaya harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Kelima : Orang beriman harus senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya. Taat kepada Allah berarti percaya akan kebenaran al-Qur`an dan mau mengamalkannya. Sedangkan taat kepada rasul berarti percaya akan kebenaran berita yang dibawa Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah) dan mau mengamalkannya. Firman Allah QS. al-Nisa` : 59 : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin pemerintahan yang adil) diantara kamu. Kemudian jika kamu sekalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan rasul-Nya (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sedangkan ketaatan kepada Rasul harus dibuktikan dengan membenarkan sekaligus melaksanakan sesuatu (sunnah) yang telah beliau perintahkannya sekaligus meninggalkan sesuatu (sunnah) yang telah beliau larangnya. Sebagaimana firman Allah QS. Al-Hasyr : 7 : “Dan apa-apa yang diberikan kepadamu oleh rasulullah maka terimalah ia, dan apa-apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.”
Ketaatan kepada Rasul SAW juga telah beliau isyaratkan dalam beberapa Haditsnya, yang antara lain, Sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Bukhari : “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan. Ditanyakan (oleh seorang shahabat) : siapa orang yang enggan itu wahai rasulallah ? Beliau menjawab : barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka sungguh ia termasuk orang yang enggan.” Sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Abdul Barr : “Telah ku tinggalkan kepadamu dua perkara, selama kamu berpegang teguh kepada keduanya maka kamu tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, yaitu kitabullah (al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya (al-Hadis).”
Demikianlah, karakteristik orang-orang beriman (mukmin) dapat disimpulkan sebagai berikut : orang mukmin senantiasa saling tolong menolong, senantiasa menjalankan amar ma`ruf nahi munkar, senantiasa mendirikan shalat, senantiasa menunaikan zakat dan senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya. Kelima kelompok orang mukmin itulah yang akan mendapat rahmat Allah, berupa kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat.Wallahu a`lam
TATANAN MASYARAKAT YANG DINAMIS
11.46
Sebuah masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang senantiasa bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan yang diperlukan baik yang berhubungan dengan kepentingan individu maupun kepentingan bersama. Masyarakat yang dinamis selalu ingat akan semua nikmat dan karunia yang telah Allah berikan kepada mereka. Mereka menyadari bahwa hanya Allahlah yang telah menyediakan segala kebutuhan hidup di dunia ini, berupa kebutuhan sandang, pangan dan kebutuhan lainnya. Allah berfirman dalam QS. al-Mulk : 15 : “Dialah Dzat yang telah menyediakan untuk kamu bumi itu muda, maka berjalanlah di segala penjurunya. Dan makanlahdari sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali.”
Dalam ayat tersebut Allah mengingatkan kepada manusia akan segala nikmat yang telah mereka terima. Nikmat berupa kesempatan hidup di dunia dengan berbagai fasilitas yang ada untuk memenuhi kebutuhannya. Allah telah menjadikan bumi dengan berbagai isinya untuk kebutuhan hidup manusia. Allah telah memberikan karunia berupa akal dan kemampuan untuk memikirkan fenomena alam semesta. Dengan akal dan kemampuan yang telah Allah berikan kepada manusia memungkinkan mereka mampu menggali dan memanfaatkan alam beserta isinya.
Dalam ayat tersebut di atas manusia diperintahkan untuk berjalan menjelajahi bumi, artinya bahwa bumi beserta isinya yang telah Allah ciptakan harus dijadikan sebagai lahan untuk berkarya agar dapat bermanfaat dalam hidup dan kehidupan. Hasil karya tersebut dimanfaatkan dalam meraih kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat. Sebab manusia hidup di dunia ini tidak boleh melupakan akan adanya kehidupan di akherat. Kebahagiaan hidup di akherat hanya akan dapat diraih melalui jerih payahnya di dunia ini. Manusia tidak boleh melupakan dua kehidupan, baik dunia maupun akherat. Sebagaimana firman Allah QS. al-Qas}as} : 77 : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat tersebut mengandung makna bahwa manusia harus sekuat tenaga meraih kebahagiaan hidup di akherat tanpa melupakan kehidupan di dunia, senantiasa berbuat baik selagi hidup di dunia dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan mereka sengsara.
Sebuah tatanan masyarakat yang dinamis senantiasa berusaha tanpa kenal lelah dan bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka selalu berusaha berkeinginan keras dalam rangka merubah nasib mereka menuju yang lebih baik. Masyarakat yang dinamis selamanya menyadari bahwa bahagia dan sengsara berada pada usaha mereka. Mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak mungkin merubah nasib mereka, sebelum mereka berusaha merubah nasibnya semaksimal mungkin. Firman Allah QS. al-Ra`d : 11 : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka).”
Menurut Qurais Shihab ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya Allah (taqdir). Kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya manusia. Kata anfusahum dalam ayat di atas terdiri dari dua unsur pokok yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah atau kehendak manusia. Apabila keduanya dipadukan maka akan menciptakan suatu kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu (berkarya).
Rasulullah SAW sangat memuji kepada orang-orang yang bekerja keras, yang mau beramal serta berkarya dengan kekuatan sendiri, sebagaimana sabda beliau riwayat al-Bazar : “Dari Rifa`ah bin Rafi`sesungguhnya Nabi ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ? Jawab Nabi : pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik (halal).”
Hadis di atas memberi petunjuk kepada umat Muhammad, bahwa usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan tangan dan kekuatan sendiri adalah lebih mulia dibandingkan dengan pemberian orang lain atau datang secara tiba-tiba (min h}aithu la> yah}tasib).
Rasulullah SAW juga senantiasa memuji orang-orang yang senantiasa memberi (kebaikan) kepada orang lain dari pada menerima (apalagi meminta). Sebagaimana hadis Nabi SAW riwayat Bukhari Muslim : “Tangan di atas (pemberi) adalah lebih baik dari pada tangan di bawah (penerima).”
Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia hendaklah senantiasa bermuara pada mencari ridha Allah serta dalam rangka untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akherat.Wallahu a`lam
Dalam ayat tersebut Allah mengingatkan kepada manusia akan segala nikmat yang telah mereka terima. Nikmat berupa kesempatan hidup di dunia dengan berbagai fasilitas yang ada untuk memenuhi kebutuhannya. Allah telah menjadikan bumi dengan berbagai isinya untuk kebutuhan hidup manusia. Allah telah memberikan karunia berupa akal dan kemampuan untuk memikirkan fenomena alam semesta. Dengan akal dan kemampuan yang telah Allah berikan kepada manusia memungkinkan mereka mampu menggali dan memanfaatkan alam beserta isinya.
Dalam ayat tersebut di atas manusia diperintahkan untuk berjalan menjelajahi bumi, artinya bahwa bumi beserta isinya yang telah Allah ciptakan harus dijadikan sebagai lahan untuk berkarya agar dapat bermanfaat dalam hidup dan kehidupan. Hasil karya tersebut dimanfaatkan dalam meraih kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat. Sebab manusia hidup di dunia ini tidak boleh melupakan akan adanya kehidupan di akherat. Kebahagiaan hidup di akherat hanya akan dapat diraih melalui jerih payahnya di dunia ini. Manusia tidak boleh melupakan dua kehidupan, baik dunia maupun akherat. Sebagaimana firman Allah QS. al-Qas}as} : 77 : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat tersebut mengandung makna bahwa manusia harus sekuat tenaga meraih kebahagiaan hidup di akherat tanpa melupakan kehidupan di dunia, senantiasa berbuat baik selagi hidup di dunia dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan mereka sengsara.
Sebuah tatanan masyarakat yang dinamis senantiasa berusaha tanpa kenal lelah dan bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka selalu berusaha berkeinginan keras dalam rangka merubah nasib mereka menuju yang lebih baik. Masyarakat yang dinamis selamanya menyadari bahwa bahagia dan sengsara berada pada usaha mereka. Mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak mungkin merubah nasib mereka, sebelum mereka berusaha merubah nasibnya semaksimal mungkin. Firman Allah QS. al-Ra`d : 11 : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka).”
Menurut Qurais Shihab ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya Allah (taqdir). Kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya manusia. Kata anfusahum dalam ayat di atas terdiri dari dua unsur pokok yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah atau kehendak manusia. Apabila keduanya dipadukan maka akan menciptakan suatu kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu (berkarya).
Rasulullah SAW sangat memuji kepada orang-orang yang bekerja keras, yang mau beramal serta berkarya dengan kekuatan sendiri, sebagaimana sabda beliau riwayat al-Bazar : “Dari Rifa`ah bin Rafi`sesungguhnya Nabi ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ? Jawab Nabi : pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik (halal).”
Hadis di atas memberi petunjuk kepada umat Muhammad, bahwa usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan tangan dan kekuatan sendiri adalah lebih mulia dibandingkan dengan pemberian orang lain atau datang secara tiba-tiba (min h}aithu la> yah}tasib).
Rasulullah SAW juga senantiasa memuji orang-orang yang senantiasa memberi (kebaikan) kepada orang lain dari pada menerima (apalagi meminta). Sebagaimana hadis Nabi SAW riwayat Bukhari Muslim : “Tangan di atas (pemberi) adalah lebih baik dari pada tangan di bawah (penerima).”
Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia hendaklah senantiasa bermuara pada mencari ridha Allah serta dalam rangka untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akherat.Wallahu a`lam
ISLAM GEMBAR-GEMBOR, DIAM ATAU KEPALA DINGIN
11.42
Kalau kita membayangkan diri sebagai penonton, sekarang ini kita menyaksikan sebuah pertunjukan yang menarik di lingkungan umat Islam. Ada pelbagai jenis dan ragam Islam yang merebak di mana-mana. Inilah "musim semi" Islam.
Ada suatu jenis Islam yang boleh kita namai Islam gembar-gembor. Kelompok ini biasanya sangat vokal menyuarakan pentingnya penerapan hukum-hukum Islam, dan memandang bahwa teks-teks keagamaan sudah selesai, sehingga tugas utama orang Islam sekedar melaksanakan tanpa adanya ijtihad kontekstual berfikir yang berarti. Islam ini tampaknya memang laris, terutama dalam situasi transisi politik seperti yang terjadi di negara kita.
Di negara-negara muslim yang representatif, Islam jenis ini kadang-kadang sulit muncul kepermukaan, sebab gembar-gembor di situ bisa saja mendadak berubah menjadi gerakan oposisi terhadap pemerintah. Mereka biasanya dibenci dan diberangus oleh rezim-rezim yang otoriter. Ini yang dulu terjadi di Indonesia. Kadang-kadang kelompok ini digunakan oleh pemerintah (otoriter) untuk mengarahkan perhatian masyarakat ke luar dan melupakan kebobrokan dalam negeri.
Kelompok ini kadang-kadang cenderung keras, dan menolak untuk diajak berbicara oleh kelompok-kelompok lain dalam Islam. Mereka suka menghakimi kelompok lain dalam Islam yang telah dianggap sesat. Kebenaran dipandang sebagi hanya berwajah tunggal, tidak bisa beragam. Sikap mereka dalam menafsiri teks-teks agama (baca: al-Qur'an dan al-Hadis) cenderung kepandangan yang hurufiyah (tekstual), artinya berpegang pada huruf semata tanpa menulusuri Asbab an-Nuzul dan Asbab al-Wurud. Mereka suka mengobral retorika anti Barat, yang sekaligus artinya anti Kristen, dan memandang agama-agama lain sebagai agama yang tak bisa lain kecuali salah dan sesat.
Adapun Islam jenis lain yang boleh kita namai dengan Islam diam. Kelompok ini membentuk proporsi terbesar dari keseluruhan umat Islam, tetapi mereka ini berwatak a-politis, dalam pengertian tak begitu peduli dengan ancaman-ancaman yang datang dari kelompok gembar-gembor, asal kehidupan mereka selamat.
Pandangan kelompok ini kadang-kadang tidak tegas, tetapi yang jelas tidak ekstrim. Dalam beberapa atau banyak hal, kelompok ini condong pada konservatisme. Kelompok ini tak menyukai kekerasan, tetapi juga tak begitu militan melawan bentuk-bentuk represi yang datang dari luar.
Sekap mereka terhadap agama cenderung akomodatif, dalam pengertian bisa menerima penyesuaian-penyesuaian dengan kultur lokal. Beberapa diantara mereka malah ada yang menggabungkan Islam dan mistisisme lokal yang sama sekali heterodoks.
Sementara itu ada jenis Islam lain yang ketiga, yang secara serampangan bisa kita sebut dengan Islam kepala dingin. Kelompok ini biasanya terdiri dari kaum terdidik/terpelajar, dan karena itu sangat sedikit jumlahnya. Mereka tidak mempunyai cukup girah dan semangat untuk berkoar, tetapi mencoba memikirkan dalam-dalam pemaknaan kembali Islam dalam konteks yang sudah berubah, (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal, serta al-hukmu yadur ma'a illatih wijudan wa adaman). Karena mereka ini terdiri dari individu-individu yang berpikir bebas, tafsiran-tafsiran yang muncul dari kelompok ini juga sangat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Oleh karena itu agak sedkit susah mendefinisikan isi Islam sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok ini. Teks keagamaan dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai suatu yang bersifat prismatis, artinya dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan dan penafsiran.
Kelompok ini tak mau memandang kebenaran dalam penafsiran teks sebagai sesuatu yang mungkin digagahi satu kelompok, sekaligus menyingkirkan kelompok lain. Islam dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai sesuatu yang belum atau malah tak pernah selesai. Doktrin al yauma akmaltu lakum dinakum (hari ini Aku sempurnakan bagimu agama-Ku) dimaknai oleh mereka bukan sebagai kesempurnaan yang aktual, tetapi kesempurnaan yang potensial. Setiap agama, dalam pandangan kelompok ini, adalah sempurna pada dirinya (self-sufficient), tetapi kesempurnaan di situ selalu bermakna potensial: ada potensi-potensi kesempurnaan di dalamnya yang harus di-aktualkan oleh para pemeluknya sendiri. Barat tidak dipandang sebagai musuh oleh kelompok ini, tetapi adalah teman dialog yang justru akan memperkembangkan Islam itu sendiri.
Wahyu, menurut kelompok ini, dipandang sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, tetapi progresif, bergerak terus. Nabi sebagai pribadi memang telah wafat, tetapi Nabi sebagai fungsi tetap berjalan dan berlaku sepanjang zaman. Setiap muslim adalah Muhammad-Muhammad kecil yang terus-menerus berjuang melawan setiap struktur jahiliyyah dalam pelbagai ragam bentuknya. Setiap muslim adalah Muhammad yang terus ragu dan resah, karena tak ada suatu terminal akhir yang bisa menjamin bahwa suatu tahap tertentu dalam pemahaman Islam, dalam penafsiran teks-teks agama, adalah tahap yang sudah sampai di puncak, dan dengan demikian telah selesai.
Mengenai Islam gembar-gembor, menurut penulis dan hal ini juga seirama dengan pendapat Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam jenis ini tak mempunyai masa depan, kecuali pada masa peralihan seperti sekarang ini. Begitu sistem demokratis dimapankan, kelompok-kelompok semacam ini secara pelan-pelan akan tertampung ke tengah, lalu akan diam dengan sendirinya. Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok ini adalah Islam "sementara" ketika keadaan belum normal.
Adapun Islam diam juga tak bisa lagi dijadikan sandaran di masa depan. Kelemahan pokok Islam model ini adalah wataknya yang a-politis, yaitu sikapnya yang kurang peduli terhadap pelbagai bentuk ancaman yang datang dari Islam gembar-gembor, suatu ancaman yang bisa merusak tata pergaulan multikultural yang sedang dibina oleh pelbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Kelemahan lainnya dalam Islam model ini, adalah bahwa kelompok ini seperti telah puas dengan keadaan Islam yang ada, di mana tradisi dan Islam sudah bisa bersanding dengan tenang tanpa saling ingkar satu terhadap yang lain. Sikap yang menganggap bahwa segalanya normal adalah kecenderungan yang menonjol pada Islam diam ini.
Islam yang mempunyai masa depan adalah Islam jenis ketiga yaitu Islam kepala dingin, yakni Islam yang selalu mencari rumusan-rumusan baru yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang berubah, tanpa terikat ketat dengan teks-teks keagamaan yang sudah lapuk. Islam jenis ini hendak menimba dari segala tradisi lalu menggodoknya menjadi suatu susunan baru yang sesuai dengan kebutuhan.
Di sini saya ingin mengambil sample kota-kota dalam sejarah perkembangan Islam sebagai landmark untuk menandai jenis-jenis Islam yang telah saya sebutkan di atas. Islam gembar-gembor adalah islam periode Makkah. Islam diam adalah Islam periode Madinah. Islam kepala dingin adalah Islam periode Baghdad. Hanya saja mungkin metafora ini kurang tepat. Islam periode Makkah, misalnya, dimaknai secara lain oleh Ustaz Mahmud Muhammad Thaha dari Sudan. Islam periode Madinah juga mendapat pengertian yang khusus di tangan cendekiawan muslim Nurcholis Majid (cak Nur).
Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba memaknai kembali pengertian dari ketiga Islam tersebut. Dalam hal ini penulis senada dengan apa yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam periode Makkah adalah Islam di mana umat Islam merasa diri sebagai minoritas yang dikepung oleh lingkungan yang serba Jahiliyyah di sekitarnya. Karena merasa dikepung oleh pelbagai ancaman dari kanan-kiri, berteriak adalah salah satu cara untuk bertahan diri. Di sinilah bisa dipahami kenapa orang-orang Islam dalam jalur pemahaman ini selalu gemar berteriak keras. Islam periode Madinah adalah Islam yang sudah mengalami pelembagaan dan pemantapan sebagai suatu komunitas beriman.
Islam periode Baghdad menurut penulis, adalah Islam yang paling hidup dan menjanjikan. Islam ini menganggap dirinya tidak sebagai pihak yang senantiasa terkepung oleh musuh, sehingga tak perlu gembar-gembor, tetapi juga tak pernah merasa bahwa segalanya oke-oke saja, sehingga kegiatan pembacaan ulang (reinterpretasi) atas Islam tak diperlukan lagi. Islam Baghdad-lah yang patut dihidupkan sekarang ini.
Inilah Islam yang secara historis benar-benar pernah mengalami salah satu kondisi kemodernan, yang penting pada saat sekarang ini: yaitu kondisi multikulturalisme. Kota Baghdad adalah kota multikultural yang boleh jadi serupa dengan Manhattan sekarang ini.
Islam periode Baghdad jarang durujuk oleh pemikir muslim modern. Islam Makkah dan Madinah adalah model-model yang acap kali dijadikan contoh yang hendak diteladani. Alasannya sederhana: Islam pada periode Baghdad bukanlah Islam yang asli, Islam periode itu adalah Islam yang telah dicampuri oleh unsur-unsur dari luar Islam sendiri. Sedangkan Islam pada periode Madinah, sebaliknya, adalah Islam yang "murni" dan pristin.
Pertanyaan kita, tentu, manakah yang "murni" dalam Islam itu. Masing-masing kelompok dalam Islam menciptakan bayangan tentang yang "murni" menurut kepentingan-kepentingannya sendiri. Yang dibutuhkan orang Islam sekarang adalah suatu preseden historis yang betul-betul pernah ada, di mana Islam menjadi suatu "fakta sejarah" yang berhasil sebagai agama yang mengembangkan suatu kehidupan yang multikultural, bukan kehidupan yang mencurigai orang lain, atau peradaban lain. Islam periode Baghdad adalah teladan yang hidup dan pernah terjadi.
Ada suatu jenis Islam yang boleh kita namai Islam gembar-gembor. Kelompok ini biasanya sangat vokal menyuarakan pentingnya penerapan hukum-hukum Islam, dan memandang bahwa teks-teks keagamaan sudah selesai, sehingga tugas utama orang Islam sekedar melaksanakan tanpa adanya ijtihad kontekstual berfikir yang berarti. Islam ini tampaknya memang laris, terutama dalam situasi transisi politik seperti yang terjadi di negara kita.
Di negara-negara muslim yang representatif, Islam jenis ini kadang-kadang sulit muncul kepermukaan, sebab gembar-gembor di situ bisa saja mendadak berubah menjadi gerakan oposisi terhadap pemerintah. Mereka biasanya dibenci dan diberangus oleh rezim-rezim yang otoriter. Ini yang dulu terjadi di Indonesia. Kadang-kadang kelompok ini digunakan oleh pemerintah (otoriter) untuk mengarahkan perhatian masyarakat ke luar dan melupakan kebobrokan dalam negeri.
Kelompok ini kadang-kadang cenderung keras, dan menolak untuk diajak berbicara oleh kelompok-kelompok lain dalam Islam. Mereka suka menghakimi kelompok lain dalam Islam yang telah dianggap sesat. Kebenaran dipandang sebagi hanya berwajah tunggal, tidak bisa beragam. Sikap mereka dalam menafsiri teks-teks agama (baca: al-Qur'an dan al-Hadis) cenderung kepandangan yang hurufiyah (tekstual), artinya berpegang pada huruf semata tanpa menulusuri Asbab an-Nuzul dan Asbab al-Wurud. Mereka suka mengobral retorika anti Barat, yang sekaligus artinya anti Kristen, dan memandang agama-agama lain sebagai agama yang tak bisa lain kecuali salah dan sesat.
Adapun Islam jenis lain yang boleh kita namai dengan Islam diam. Kelompok ini membentuk proporsi terbesar dari keseluruhan umat Islam, tetapi mereka ini berwatak a-politis, dalam pengertian tak begitu peduli dengan ancaman-ancaman yang datang dari kelompok gembar-gembor, asal kehidupan mereka selamat.
Pandangan kelompok ini kadang-kadang tidak tegas, tetapi yang jelas tidak ekstrim. Dalam beberapa atau banyak hal, kelompok ini condong pada konservatisme. Kelompok ini tak menyukai kekerasan, tetapi juga tak begitu militan melawan bentuk-bentuk represi yang datang dari luar.
Sekap mereka terhadap agama cenderung akomodatif, dalam pengertian bisa menerima penyesuaian-penyesuaian dengan kultur lokal. Beberapa diantara mereka malah ada yang menggabungkan Islam dan mistisisme lokal yang sama sekali heterodoks.
Sementara itu ada jenis Islam lain yang ketiga, yang secara serampangan bisa kita sebut dengan Islam kepala dingin. Kelompok ini biasanya terdiri dari kaum terdidik/terpelajar, dan karena itu sangat sedikit jumlahnya. Mereka tidak mempunyai cukup girah dan semangat untuk berkoar, tetapi mencoba memikirkan dalam-dalam pemaknaan kembali Islam dalam konteks yang sudah berubah, (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal, serta al-hukmu yadur ma'a illatih wijudan wa adaman). Karena mereka ini terdiri dari individu-individu yang berpikir bebas, tafsiran-tafsiran yang muncul dari kelompok ini juga sangat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Oleh karena itu agak sedkit susah mendefinisikan isi Islam sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok ini. Teks keagamaan dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai suatu yang bersifat prismatis, artinya dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan dan penafsiran.
Kelompok ini tak mau memandang kebenaran dalam penafsiran teks sebagai sesuatu yang mungkin digagahi satu kelompok, sekaligus menyingkirkan kelompok lain. Islam dalam pandangan kelompok ini dipandang sebagai sesuatu yang belum atau malah tak pernah selesai. Doktrin al yauma akmaltu lakum dinakum (hari ini Aku sempurnakan bagimu agama-Ku) dimaknai oleh mereka bukan sebagai kesempurnaan yang aktual, tetapi kesempurnaan yang potensial. Setiap agama, dalam pandangan kelompok ini, adalah sempurna pada dirinya (self-sufficient), tetapi kesempurnaan di situ selalu bermakna potensial: ada potensi-potensi kesempurnaan di dalamnya yang harus di-aktualkan oleh para pemeluknya sendiri. Barat tidak dipandang sebagai musuh oleh kelompok ini, tetapi adalah teman dialog yang justru akan memperkembangkan Islam itu sendiri.
Wahyu, menurut kelompok ini, dipandang sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, tetapi progresif, bergerak terus. Nabi sebagai pribadi memang telah wafat, tetapi Nabi sebagai fungsi tetap berjalan dan berlaku sepanjang zaman. Setiap muslim adalah Muhammad-Muhammad kecil yang terus-menerus berjuang melawan setiap struktur jahiliyyah dalam pelbagai ragam bentuknya. Setiap muslim adalah Muhammad yang terus ragu dan resah, karena tak ada suatu terminal akhir yang bisa menjamin bahwa suatu tahap tertentu dalam pemahaman Islam, dalam penafsiran teks-teks agama, adalah tahap yang sudah sampai di puncak, dan dengan demikian telah selesai.
Mengenai Islam gembar-gembor, menurut penulis dan hal ini juga seirama dengan pendapat Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam jenis ini tak mempunyai masa depan, kecuali pada masa peralihan seperti sekarang ini. Begitu sistem demokratis dimapankan, kelompok-kelompok semacam ini secara pelan-pelan akan tertampung ke tengah, lalu akan diam dengan sendirinya. Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok ini adalah Islam "sementara" ketika keadaan belum normal.
Adapun Islam diam juga tak bisa lagi dijadikan sandaran di masa depan. Kelemahan pokok Islam model ini adalah wataknya yang a-politis, yaitu sikapnya yang kurang peduli terhadap pelbagai bentuk ancaman yang datang dari Islam gembar-gembor, suatu ancaman yang bisa merusak tata pergaulan multikultural yang sedang dibina oleh pelbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Kelemahan lainnya dalam Islam model ini, adalah bahwa kelompok ini seperti telah puas dengan keadaan Islam yang ada, di mana tradisi dan Islam sudah bisa bersanding dengan tenang tanpa saling ingkar satu terhadap yang lain. Sikap yang menganggap bahwa segalanya normal adalah kecenderungan yang menonjol pada Islam diam ini.
Islam yang mempunyai masa depan adalah Islam jenis ketiga yaitu Islam kepala dingin, yakni Islam yang selalu mencari rumusan-rumusan baru yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang berubah, tanpa terikat ketat dengan teks-teks keagamaan yang sudah lapuk. Islam jenis ini hendak menimba dari segala tradisi lalu menggodoknya menjadi suatu susunan baru yang sesuai dengan kebutuhan.
Di sini saya ingin mengambil sample kota-kota dalam sejarah perkembangan Islam sebagai landmark untuk menandai jenis-jenis Islam yang telah saya sebutkan di atas. Islam gembar-gembor adalah islam periode Makkah. Islam diam adalah Islam periode Madinah. Islam kepala dingin adalah Islam periode Baghdad. Hanya saja mungkin metafora ini kurang tepat. Islam periode Makkah, misalnya, dimaknai secara lain oleh Ustaz Mahmud Muhammad Thaha dari Sudan. Islam periode Madinah juga mendapat pengertian yang khusus di tangan cendekiawan muslim Nurcholis Majid (cak Nur).
Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba memaknai kembali pengertian dari ketiga Islam tersebut. Dalam hal ini penulis senada dengan apa yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdallah, bahwa Islam periode Makkah adalah Islam di mana umat Islam merasa diri sebagai minoritas yang dikepung oleh lingkungan yang serba Jahiliyyah di sekitarnya. Karena merasa dikepung oleh pelbagai ancaman dari kanan-kiri, berteriak adalah salah satu cara untuk bertahan diri. Di sinilah bisa dipahami kenapa orang-orang Islam dalam jalur pemahaman ini selalu gemar berteriak keras. Islam periode Madinah adalah Islam yang sudah mengalami pelembagaan dan pemantapan sebagai suatu komunitas beriman.
Islam periode Baghdad menurut penulis, adalah Islam yang paling hidup dan menjanjikan. Islam ini menganggap dirinya tidak sebagai pihak yang senantiasa terkepung oleh musuh, sehingga tak perlu gembar-gembor, tetapi juga tak pernah merasa bahwa segalanya oke-oke saja, sehingga kegiatan pembacaan ulang (reinterpretasi) atas Islam tak diperlukan lagi. Islam Baghdad-lah yang patut dihidupkan sekarang ini.
Inilah Islam yang secara historis benar-benar pernah mengalami salah satu kondisi kemodernan, yang penting pada saat sekarang ini: yaitu kondisi multikulturalisme. Kota Baghdad adalah kota multikultural yang boleh jadi serupa dengan Manhattan sekarang ini.
Islam periode Baghdad jarang durujuk oleh pemikir muslim modern. Islam Makkah dan Madinah adalah model-model yang acap kali dijadikan contoh yang hendak diteladani. Alasannya sederhana: Islam pada periode Baghdad bukanlah Islam yang asli, Islam periode itu adalah Islam yang telah dicampuri oleh unsur-unsur dari luar Islam sendiri. Sedangkan Islam pada periode Madinah, sebaliknya, adalah Islam yang "murni" dan pristin.
Pertanyaan kita, tentu, manakah yang "murni" dalam Islam itu. Masing-masing kelompok dalam Islam menciptakan bayangan tentang yang "murni" menurut kepentingan-kepentingannya sendiri. Yang dibutuhkan orang Islam sekarang adalah suatu preseden historis yang betul-betul pernah ada, di mana Islam menjadi suatu "fakta sejarah" yang berhasil sebagai agama yang mengembangkan suatu kehidupan yang multikultural, bukan kehidupan yang mencurigai orang lain, atau peradaban lain. Islam periode Baghdad adalah teladan yang hidup dan pernah terjadi.
KONSEPSI ISLAM TENTANG NEGARA
11.41
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Melihat dan mencermati perjalanan bangsa dari awal periode kemerdekaan hingga saat ini, persoalan bangsa yang dihadapi Indonesia semakin hari semakin bertambah dan cenderung mengalami peningkatan dari segi intensitas masalah dan kedalaman masalah yang dihadapi. Selain problematik di bidang politik-pemerintahan, ekonomi, social kemasyarakatan, ketenagakerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan, Indonesia juga sedang menghadapi berbagai persoalan serius dalam masalah formulasi hubungan agama dan negara.
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, agama (Islam) tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah. melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan yang dihadapi umat manusia. Namun tidak sedikit orang yang mempunyai paradigma yang berbeda dan beranggapan bahwa agama (Islam) hanya tereduksi hanya masalah ritual semata.
Golongan Islam liberal sangat keberatan apabila agama di hubungkan dengan agama. Artinya, mereka menolak kewajiban penerapan syariat Islam oleh sebuah negara yang dibangun di atas landasan aqidah Islam, dengan merujuk kepada pendapat Ali Abd Raziq.
Ar- Raziq menyatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang pembawa risalah kebenaran, pemerintahan, Islam diturunkan untuk mensucikan hati nurani manusia, bukan untuk membangun negara. Setelah At-Taturk berhasil menjatuhkan kekhilafahan tahun 1924, Ar-Raziq tahun 1925 menerbitkan buku yang pada intinya mendukung langkah yang dilakukan Ataturk, bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Persoalan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada campur tangan agama di dalamnya (Maman kh, 2002, hal.313).
Di lain pihak, negara yang penduduknya Muslim terbesar di dunia dan mempunyai ciri freedom of religion (kebebasan beragama) ini. Belum mempunyai ideologi yang jelas, dimana sebagian dari masyarakat belum bisa menerima dengan dasaran bahwa negara Indonesia merupakan negara republik yang menganut kebangsaan.
Jika kita menengok kebelakang, banyak suatu kles antara masarakat sipil dengan pemerintahan yang disebabkan adanya keinginan menerapkan syariat Islam secara total, baik dari segi peraturan hukumnya, atau tatanan politik dan ekonominya. Sebagai contoh, Gabungan Aceh Merdeka (GAM) yang berpuluh-puluh tahun ingin melepaskan diri dari Indonesia karena ingin menjalankan syariat Islam, namun yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan tidak adanya lagi peperangan antar pemerintahan dan GAM, maka kebijakan yang diambil dari pemerintah dengan mengadakan otonomi daerah. Dikalangan organisasi-organisasi seperti FPI, Hizbut Tahrir, bahkan sampai Organisasi wilayah FBR. Walau masa sebelumnya telah terjadi sebelum Indonesia merdeka, telah terbentuk suatu Organisasi Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia.
Organisasi Daarul Islam merupakan organisasi yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Organisasi ini, berjuang habis-habisan agar Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan, Namun, dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia (PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung. Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam negara Islam Indonesia sampai sekarang. (www. members.tripod.com/darul_islam/)
Kalangan organisasi yang didukung oleh pemerintah, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya. Hanya bisa memberikan sebuah pemikiran jalan tengah agar tidak adanya kesinambungan yang terus menerus, sehingga dengan terbentuknya Pancasila yang di dalamnya mengandung unsur keislaman dan kebangsaan. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, perkataan yang pertama diambil itu, Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang. Tidak hanya itu, Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia di buat oleh para Ulama-Ulama terbesar.
Rumusan Masalah
Makalah ini menitik beratkan kepada masalah perbedaan-perbedaan pendapat dari pada tiap golongan yang berbeda, dengan penjelasan diatas serta isu-isu Islam itu sendiri. Namun pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana konsepsi Islam tentang negara?
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memancing diskusi yang lebih interns, guna mencari solusi total atas kebangkrutan birokrasi yang sedemikian parah saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan Teori
Banyak definisi diberikan orang. Miriam Budiharjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik mengutip sejumlah rumusan para sarjana Barat tentang Negara.(Anonim, 2002, hal.322-323)
1.
Roger H. Soltau : "Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat"
2.
Max Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah"
Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah hanyalah Islam. (QS: Ali-Imran(3): 9)
Dalam The Islamic Network (www.isnet.org) pengertian secara harfiah, kata Islam memiliki arti :
1. Taat atau berserah diri (kepada Allâh)
2. Damai dan kasih sayang
3. Selamat
Namun bisa kita artikan, Islam adalah agama yang dianugerahkan Allâh kepada umat manusia, dengan perantaraan pada nabi dan rasul Allâh sejak rasul pertama Adam as hingga rasul terakhir Muhammad saw. Sebagai konsekuensinya, penganut Islam haruslah mengakui ajaran final Islam seperti yang diajarkan melalui Muhammad saw.
Analisis
1.
Negara dan Agama
Dengan memahami definisi negara di atas dapat kita sadari betapa keberadan suatu negara bagi masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusian ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan pemahaman ideologi yang dianut masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajan Nabi Sulaiman, ada negara monarki Inggris, ada kekaisaran Jerman, dan lain-lain. Di negara kita ini ada negara Kutai, Mataram Islam, Banten, Goa, Ternate, Tidore, Aceh, dan Jepang, serta menjadi republik Indonesia.
Adapun Islam, seperti telah di uraikan di muka ialah agama Allah yang turunkan kepada para Rasulnya, sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir Muhammad S.a.w. kalau dirumuskan, maka Islam itu ialah :
"Addin yang di bawa oleh Nabi Muhammad S.a.w., ialah apa yang diturunkan Allah s.w.t. di dalam Qur'an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kesejahteraan dan kebahagian hidup manusia di dunia dan di akhirat.(Nasruddin Razak, 1990, hal. 61)
Jadi tujuan Islam ialah kesejahteran dan kebahagian hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan itu, Islam mengajarkan segi-segi yang bersankutan-paut dengan duniawi dan segi-segi yang berhubungan dengan ukhrawi. Maka ajaran Islam beritikan kepada :
1.
Ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (vertikal)
2.
Ajaran yang mengatur manusia dengan sesamanya dan hubungan dengan alam ( horizontal )
1.
Konsepsi Islam tentang negara. (study analisis historis)
Untuk mengetahui Negara Islam, adalah hal yang krusial untuk mengetahui terlebih dahulu tentang sejarahnya. Untuk itu penting mengadakan perjalanan ke apa yang dikenal sebagai pendiri dari Negara Islam semasa dahulu, serta perjalanan yang di tempuhnya.
Pembentukan negara Islam pertama di Madinah pada 622 dan berdasarkan pada Piagam Madinah. Sementara peletak dasar negara itu ialah Nabi Muhammad SAW, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Anshar (penduduk Muslim di Madinah), dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang kemudian disebut dengan Konstitusi atau Piagam Madinah. Isi perjanjian ini, di antaranya, bahwa seluruh penduduk Madinah, apa pun agama dan sukunya, adalah umma wahida (a single community) atau umat yang tunggal. Karena itu, mereka semua harus saling membantu dan melindungi, serta mereka semua berhak menjalankan agama yang dipeluknya masing-masing (Muhammad Husain, 2003, hal 283-285).
Dengan dilahirkannya 'Piagam Madinah'. Ini merupakan piagam tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Declaration of Human Rights yang dilahirkan PBB pada tahun 1948. Dalam Piagam Madinah tersebut, antara lain diatur hubungan Muslim dengan nonmuslim seperti Yahudi dan Nasrani.
Dengan piagam ini, jelas sekali ajaran Islam dan umatnya sangat menghargai perbedaan agama. Ketika umat Islam berkuasa memimpin pemerintahan dan negara, tidak pernah terjadi pemaksaan terhadap umat lain untuk masuk ke dalam agama Islam,...bersambung dulu ah.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Melihat dan mencermati perjalanan bangsa dari awal periode kemerdekaan hingga saat ini, persoalan bangsa yang dihadapi Indonesia semakin hari semakin bertambah dan cenderung mengalami peningkatan dari segi intensitas masalah dan kedalaman masalah yang dihadapi. Selain problematik di bidang politik-pemerintahan, ekonomi, social kemasyarakatan, ketenagakerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan, Indonesia juga sedang menghadapi berbagai persoalan serius dalam masalah formulasi hubungan agama dan negara.
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, agama (Islam) tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah. melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan yang dihadapi umat manusia. Namun tidak sedikit orang yang mempunyai paradigma yang berbeda dan beranggapan bahwa agama (Islam) hanya tereduksi hanya masalah ritual semata.
Golongan Islam liberal sangat keberatan apabila agama di hubungkan dengan agama. Artinya, mereka menolak kewajiban penerapan syariat Islam oleh sebuah negara yang dibangun di atas landasan aqidah Islam, dengan merujuk kepada pendapat Ali Abd Raziq.
Ar- Raziq menyatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang pembawa risalah kebenaran, pemerintahan, Islam diturunkan untuk mensucikan hati nurani manusia, bukan untuk membangun negara. Setelah At-Taturk berhasil menjatuhkan kekhilafahan tahun 1924, Ar-Raziq tahun 1925 menerbitkan buku yang pada intinya mendukung langkah yang dilakukan Ataturk, bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Persoalan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada campur tangan agama di dalamnya (Maman kh, 2002, hal.313).
Di lain pihak, negara yang penduduknya Muslim terbesar di dunia dan mempunyai ciri freedom of religion (kebebasan beragama) ini. Belum mempunyai ideologi yang jelas, dimana sebagian dari masyarakat belum bisa menerima dengan dasaran bahwa negara Indonesia merupakan negara republik yang menganut kebangsaan.
Jika kita menengok kebelakang, banyak suatu kles antara masarakat sipil dengan pemerintahan yang disebabkan adanya keinginan menerapkan syariat Islam secara total, baik dari segi peraturan hukumnya, atau tatanan politik dan ekonominya. Sebagai contoh, Gabungan Aceh Merdeka (GAM) yang berpuluh-puluh tahun ingin melepaskan diri dari Indonesia karena ingin menjalankan syariat Islam, namun yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan tidak adanya lagi peperangan antar pemerintahan dan GAM, maka kebijakan yang diambil dari pemerintah dengan mengadakan otonomi daerah. Dikalangan organisasi-organisasi seperti FPI, Hizbut Tahrir, bahkan sampai Organisasi wilayah FBR. Walau masa sebelumnya telah terjadi sebelum Indonesia merdeka, telah terbentuk suatu Organisasi Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia.
Organisasi Daarul Islam merupakan organisasi yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Organisasi ini, berjuang habis-habisan agar Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan, Namun, dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia (PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung. Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam negara Islam Indonesia sampai sekarang. (www. members.tripod.com/darul_islam/)
Kalangan organisasi yang didukung oleh pemerintah, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya. Hanya bisa memberikan sebuah pemikiran jalan tengah agar tidak adanya kesinambungan yang terus menerus, sehingga dengan terbentuknya Pancasila yang di dalamnya mengandung unsur keislaman dan kebangsaan. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, perkataan yang pertama diambil itu, Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang. Tidak hanya itu, Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia di buat oleh para Ulama-Ulama terbesar.
Rumusan Masalah
Makalah ini menitik beratkan kepada masalah perbedaan-perbedaan pendapat dari pada tiap golongan yang berbeda, dengan penjelasan diatas serta isu-isu Islam itu sendiri. Namun pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana konsepsi Islam tentang negara?
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memancing diskusi yang lebih interns, guna mencari solusi total atas kebangkrutan birokrasi yang sedemikian parah saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan Teori
Banyak definisi diberikan orang. Miriam Budiharjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik mengutip sejumlah rumusan para sarjana Barat tentang Negara.(Anonim, 2002, hal.322-323)
1.
Roger H. Soltau : "Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat"
2.
Max Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah"
Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah hanyalah Islam. (QS: Ali-Imran(3): 9)
Dalam The Islamic Network (www.isnet.org) pengertian secara harfiah, kata Islam memiliki arti :
1. Taat atau berserah diri (kepada Allâh)
2. Damai dan kasih sayang
3. Selamat
Namun bisa kita artikan, Islam adalah agama yang dianugerahkan Allâh kepada umat manusia, dengan perantaraan pada nabi dan rasul Allâh sejak rasul pertama Adam as hingga rasul terakhir Muhammad saw. Sebagai konsekuensinya, penganut Islam haruslah mengakui ajaran final Islam seperti yang diajarkan melalui Muhammad saw.
Analisis
1.
Negara dan Agama
Dengan memahami definisi negara di atas dapat kita sadari betapa keberadan suatu negara bagi masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusian ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan pemahaman ideologi yang dianut masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajan Nabi Sulaiman, ada negara monarki Inggris, ada kekaisaran Jerman, dan lain-lain. Di negara kita ini ada negara Kutai, Mataram Islam, Banten, Goa, Ternate, Tidore, Aceh, dan Jepang, serta menjadi republik Indonesia.
Adapun Islam, seperti telah di uraikan di muka ialah agama Allah yang turunkan kepada para Rasulnya, sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir Muhammad S.a.w. kalau dirumuskan, maka Islam itu ialah :
"Addin yang di bawa oleh Nabi Muhammad S.a.w., ialah apa yang diturunkan Allah s.w.t. di dalam Qur'an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kesejahteraan dan kebahagian hidup manusia di dunia dan di akhirat.(Nasruddin Razak, 1990, hal. 61)
Jadi tujuan Islam ialah kesejahteran dan kebahagian hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan itu, Islam mengajarkan segi-segi yang bersankutan-paut dengan duniawi dan segi-segi yang berhubungan dengan ukhrawi. Maka ajaran Islam beritikan kepada :
1.
Ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (vertikal)
2.
Ajaran yang mengatur manusia dengan sesamanya dan hubungan dengan alam ( horizontal )
1.
Konsepsi Islam tentang negara. (study analisis historis)
Untuk mengetahui Negara Islam, adalah hal yang krusial untuk mengetahui terlebih dahulu tentang sejarahnya. Untuk itu penting mengadakan perjalanan ke apa yang dikenal sebagai pendiri dari Negara Islam semasa dahulu, serta perjalanan yang di tempuhnya.
Pembentukan negara Islam pertama di Madinah pada 622 dan berdasarkan pada Piagam Madinah. Sementara peletak dasar negara itu ialah Nabi Muhammad SAW, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Anshar (penduduk Muslim di Madinah), dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang kemudian disebut dengan Konstitusi atau Piagam Madinah. Isi perjanjian ini, di antaranya, bahwa seluruh penduduk Madinah, apa pun agama dan sukunya, adalah umma wahida (a single community) atau umat yang tunggal. Karena itu, mereka semua harus saling membantu dan melindungi, serta mereka semua berhak menjalankan agama yang dipeluknya masing-masing (Muhammad Husain, 2003, hal 283-285).
Dengan dilahirkannya 'Piagam Madinah'. Ini merupakan piagam tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Declaration of Human Rights yang dilahirkan PBB pada tahun 1948. Dalam Piagam Madinah tersebut, antara lain diatur hubungan Muslim dengan nonmuslim seperti Yahudi dan Nasrani.
Dengan piagam ini, jelas sekali ajaran Islam dan umatnya sangat menghargai perbedaan agama. Ketika umat Islam berkuasa memimpin pemerintahan dan negara, tidak pernah terjadi pemaksaan terhadap umat lain untuk masuk ke dalam agama Islam,...bersambung dulu ah.